Ancaman Parasit Perbukuan di Tengah Pandemi

31 Mei 2020 13:42 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak memilih buku di lokasi pameran buku Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (27/06). Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak memilih buku di lokasi pameran buku Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (27/06). Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Alarm tanda bahaya penerbit-penerbit buku berdering nyaring ketika banyak toko buku tutup akibat pandemi COVID-19 yang menerjang Indonesia. Jejaring toko besar seperti Gramedia saja, misalnya, terpaksa menutup 61 gerai. Belum lagi toko buku lain yang tersebar di berbagai daerah. Ketergantungan pada penjualan di toko buku membuat penerbit morat-marit.
Bagi sebagian industri perbukuan, toko buku merupakan tempat mendulang 50 persen pemasukan. Tiga bulan terakhir sejak virus corona mewabah, mereka harus putar otak menggenjot penjualan dari pintu lain.
Banyak penerbit, seperti halnya industri lain, mencoba bertahan dengan melirik opsi penjualan daring. Tetapi persoalan di lapangan lebih kompleks.
Pembajakan buku yang justru kian marak di masa pandemi membuat penerbit terdesak. Rosidayati Rozalina, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia, mendapat banyak keluhan dari anggotanya.
“Yang marak adalah pembajakan, seperti sharing buku digital. Kemudian pembajakan (yang dijual) lewat marketplace,” katanya kepada kumparan.
Konon, lanjut Rosidayanti, banyak orang memilih berbelanja buku melalui marketplace karena tidak bisa keluar rumah. Masalahnya, tak ada jaminan bahwa buku yang mereka peroleh dari marketplace adalah yang asli.
Laura Bangun Prinsloo, Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji, mengatakan bahwa penjualan buku di marketplace mencatat skala transaksi fantastis. Tujuhbelasribu Pulau Imaji merupakan organisasi nonprofit yang berusaha menjembatani para pemangku kepentingan perbukuan sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membubarkan Komite Buku Nasional awal tahun lalu.
Sepanjang April, menurut Laura, perputaran uang pembelian buku di sebuah marketplace ternama mencapai Rp 35 miliar. Itu baru di satu marketplace. Di Indonesia setidaknya ada lima marketplace besar dengan puluhan juta pengunjung setiap bulan.
Masalahnya, kue penjualan buku di sana belum tentu dicicipi para penerbit. Haidar Bagir, Presiden Direktur Grup Penerbit Mizan, memperkirakan sebagian besar buku yang dijual di marketplace adalah ilegal.
“Bisa diduga 90 persennya buku bajakan,” ia berujar.
Memang sulit mendapat data pastinya. Tetapi, survei IKAPI pada bulan April itu setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa “kebocoran” memang terjadi.
Setidaknya 75 persen anggota IKAPI sudah memanfaatkan jalur penjualan online. Sayangnya, 52,6 persen memperoleh pemasukan kurang dari 10 persen dari total omzet. Hanya 11,5 persen penerbit yang bisa meraup penghasilan lebih dari 40 persen dari total omzet via jalur daring tersebut.
Seorang anak membaca buku di Taman Warna-warni di kawasan Sawah Lio, Jakarta Barat (13/2). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pembajakan sebenarnya parasit klasik dalam ekosistem industri perbukuan di Indonesia. IKAPI, berdasarkan hasil diskusi dengan 11 penerbit sebelum pandemi, memperkirakan nilai kerugian dari pembajakan buku teks perkuliahan saja menyentuh Rp 100 miliar.
Itu baru sebatas hitung-hitungan minimal. Estimasi kerugian dari buku umum yang dibajak pun belum masuk kalkulasi. Angka riil buku bajakan yang beredar sulit diukur. Rosidayanti memperkirakan jumlahnya berkali-kali lipat lebih besar.
Situasi tersebut menjadi ironi di saat penerbit harus berdarah-darah mempertahankan bisnis. Laura mengibaratkan penerbit yang sekarang sudah babak belur dihantam pandemi harus digebuki lagi oleh pembajakan.
“Pembajak tidak membayar investasi yang lain-lain. Mereka tidak bayar royalti, mereka tidak bayar biaya pengembangan, biaya editing, biaya desain,” katanya kesal.
Padahal, untuk ukuran bisnis, penerbit cuma punya margin profit tipis. Haidar mengungkapkan, besarnya berkisar di angka empat persen. Di masa jaya perbukuan, menurutnya, penerbit bisa meraup untung bersih 12 persen. Tetapi makin ke sini, selisih biaya produksi dan harga buku kian mepet.
Di masa pandemi, mereka lebih gigit jari lagi, kalah bersaing dengan buku bajakan dengan iming-iming harga miring. “Marketplace itu rimba yang mengerikan buat perbukuan, karena buku bajakan kan enggak ada penindakan. Di sana, bisa beli buku Komunitas Bambu dengan harga lebih murah,” tutur pengelola penerbit Komunitas Bambu, JJ Rizal.
Marketplace sebenarnya memiliki protokol untuk menurunkan iklan yang terindikasi menjual barang ilegal. Biasanya, penerbit atau pemilik karya harus lebih dulu melaporkan ke pengelola marketplace.
“Tapi kan almost impossible untuk penerbit dan pengarang melacak itu semua,” kata Laura.
Ada juga kesulitan mengidentifikasi mana buku legal dan ilegal. Di marketplace, ujarnya, banyak penjual memampang foto buku yang tampak asli. Begitu barang pesanan sampai ke konsumen, baru ketahuan bukunya ternyata bajakan.
Masalah pembajakan buku dalam format digital malah lebih pelik lagi. Pertengahan April lalu, IKAPI telah mengirim surat berisi beberapa usulan kepada presiden, salah satu poinnya agar pemerintah memfasilitasi pertemuan penerbit dan marketplace untuk mencegah pembajakan.
Lebih dari sebulan kemudian, pemerintah belum juga mengambil langkah. Menurut Mohammad Amin, Plt. Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan dan Penerbitan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ada banyak pemangku kepentingan urusan perbukuan di pemerintahan.
“Tentu saja ini perlu dibicarakan dulu dengan kedeputian mana yang tepat. Kemudian apakah produk hukum itu dikeluarkan oleh biro yang mana, atau jangan-jangan yang paling tepat itu bukan Kemenparekraf (tapi lembaga lain),” katanya.
Haidar tak bisa menyembunyikan kekesalannya melihat pembajakan yang terkesan dibiarkan. Menurutnya, penegak hukum kerap beralasan perkara pembajakan masuk delik aduan.
“Loh, delik aduan kan bisa jaksa pemerintah mengadu kalau memang mau, kenapa harus menunggu dari swasta. Mereka bisa melaporkan. Ini mengganggu proses pencerdasan bangsa kan bisa dituntut,” kata Haidar.
Pengunjung memadati lokasi pameran buku Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (27/06). Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Penerbit-penerbit pun seperti dibiarkan menghadapi pembajakan sendirian tanpa kehadiran pemerintah. Padahal, selama ini penerbitan buku seratus persen mengandalkan kontribusi pihak swasta; penerbit milik pemerintah, Balai Pustaka, saat ini tak bertaji.
“Ini negeri apa, saya enggak tahu. Dalam keadaan penerbit yang menjadi tumpuan satu-satunya pencerdasan bangsa dibiarkan diperlakukan seperti itu,” kata Haidar jengkel.
Peran pemerintah tentu dinanti. Apakah akan mengambil langkah nyata atau membiarkan penerbit yang tengah limbung mati perlahan digerogoti pembajakan.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.
.