AS Jatuh ke Jurang Resesi, Emiten dengan Porsi Ekspor Besar Bisa Terguncang

29 Juli 2022 10:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi IHSG. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi IHSG. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada perdagangan akhir pekan, Jumat (29/7). IHSG berada di zona hijau di tengah situasi ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami kontraksi dua kuartal berturut-turut atau masuk dalam resesi teknis.
ADVERTISEMENT
Adapun pertumbuhan ekonomi AS di kuartal II 2022 ini tercatat minus 0,9 persen secara year on year. Lalu apakah yang perlu diperhatikan investor dalam menghadapi pasar dalam negeri?
Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mencermati Produk Domestik Bruto (PDB) AS yang terkontraksi 0,9 persen pada kuartal II 2022 menunjukkan The Fed tidak perlu terlalu agresif menaikkan suku bunga ke depannya. Para analis berpendapat pertumbuhan ekonomi akan kembali naik apabila inflasi telah melandai.
“Saat ini AS sudah bisa dikatakan masuk dalam technical recession karena pertumbuhan ekonominya selama dua kuartal terakhir itu negatif, jadi roda perekonomian di sana agak melambat. Hampir disebabkan pabrik harus menanggung biaya bahan baku dan bahan bakar energi yang tinggi,” ujar Liza saat dihubungi kumparan, Jumat (29/7).
ADVERTISEMENT
Liza mengatakan, saham-saham di Indonesia bisa terseret dampak resesi AS khususnya sektor saham yang memiliki banyak porsi ekspor ke AS. Neraca perdagangan berisiko defisit apabila ekspor menurun, karena AS adalah pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.
“Dari sekian banyak produk yang diproduksi dan menjadi andalan komoditas ekspor Indonesia, empat di antaranya bertengger di posisi teratas yaitu produk pertanian yang sangat diminati pasar internasional,” katanya.
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas, Jakarta, Senin (6/9). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sedangkan sentimen dalam negeri mengenai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa BI 7 days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) mungkin akan mengalami kenaikan sebesar 100 basis poin (bps) sampai akhir tahun disambut positif oleh pasar.
Pelaku pasar berekspektasi bahwa hal ini akan mampu memperkuat nilai tukar Rupiah sehingga meringankan beban bahan baku impor banyak emiten.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, analis Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto optimistis The Fed akan terus memperketat kebijakan moneter tahun ini untuk memerangi inflasi yang melonjak. Meski demikian, laju pengetatan bisa lebih lambat setelah naik 75 bps.
“Kami memperkirakan kenaikan suku bunga kebijakan AS sebesar 50 bps pada bulan September dan 25 bps masing-masing pada pertemuan FOMC November dan Desember. Kami percaya The Fed masih berada di jalur yang tepat untuk memperketat kebijakan moneter,” pungkasnya.
Rully menilai dolar AS akan terus menguat dalam waktu dekat dan volatilitas pasar masih bertahan. Pasar ekuitas Asia sebagian besar bergerak lebih tinggi setelah keputusan The Fed.
“Indonesia masih menjadi salah satu negara yang paling tidak mendesak untuk menaikkan suku bunga terlalu cepat. Kami percaya BI akan menahan BI7DRRR di 3,5 persen pada bulan Agustus karena fokus pada tanda kenaikan inflasi inti,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dengan prospek ekonomi yang lebih baik di semester 2 tahun 2022, Rully meramal rupiah akan berakhir tahun ini di level Rp 14.585 per dolar AS.