Awal Mula Kisruh Kelola Bandara Halim hingga Tunggu Persetujuan Sri Mulyani

23 Juli 2022 7:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang calon penumpang menunggu konfirmasi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (20/3/2021). Foto: M RIsyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang calon penumpang menunggu konfirmasi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (20/3/2021). Foto: M RIsyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Bandara Halim Perdanakusuma akan dibuka kembali untuk penerbangan komersial September mendatang. Kendati demikian, rencana pembukaan ini diwarnai mencuatnya kasus pengelolaan antara Induk Koperasi TNI AU, PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II dan PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS).
ADVERTISEMENT
TNI AU menyerahkan pengelolaan lahan seluas 21 hektar ke ATS sebagai anak usaha Lion Air Group. PT Angkasa Pura II (Persero) yang merupakan pengelola eksisting pun diminta hengkang dari sana.
Merujuk pada salinan dokumen PK MA Nomor 527/PK/Pdt/2015, PT ATS seharusnya sudah mengelola Bandara Halim Perdanakusuma setidak-tidaknya sejak 2010. Hal tersebut berdasarkan perjanjian antara Induk Koperasi TNI Angkatan Udara (INKOPAU-PUKADARA) dan ATS pada 12 Mei 2004 yang saat itu diwakili oleh Edward Sirait.
Lalu pada 28 Juli 2004, mereka berdua menandatangani Memorandum Kesepakatan Bersama tentang Pemanfaatan Aset TNI Angkatan Udara berupa tanah seluas 19 hektar yang terletak di Bandara Halim Perdanakusuma beserta fasilitas penunjangnya. Atas dasar Memorandum Kesepakatan tersebut, pada 10 Februari 2006, keduanya membuat dan menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan Aset TNI Angkatan Udara berupa tanah seluas 21 hektar di Bandara Halim Perdanakusuma.
ADVERTISEMENT
Masa Kontrak di Bandara Halim hingga 2031
Angkasa Pura II (Persero) atau AP II harus hengkang sebagai pengelola Bandara Halim Perdanakusuma, setelah kini PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) dinyatakan menjadi pengelola yang baru.
Untuk bisa mengelola bandara tersebut, ATS membayar Rp 17,82 miliar kepada Induk Koperasi TNI AU. Rinciannya, Rp 7,03 miliar untuk kompensasi, Rp 8,44 miliar untuk kontribusi tahunan sejak tahun 2006-2007, dan Rp 2,34 miliar untuk pembayaran sewa ke kas negara tahun 2006/2007.
Dengan membayar Rp 17,8 miliar, ATS mendapatkan kontrak hak kelola selama 21 tahun atau hingga 10 Februari 2031.
"Akan tetapi sejak dibuat dan ditandatangani Perjanjian ini sampai diajukannya gugatan ini, Tergugat I (TNIA AU) tidak menyerahkan Objek Perjanjian kepada Penggugat (ATS)," demikian isi PK MA Nomor 527/PK/Pdt/2015.
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi saat akan berangkat kunjungan kerja ke Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (14/10). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
Merasa kecewa, ATS lalu menggugat TNI AU pada 2010, waktu di mana seharusnya mereka mulai mengelola bandara tersebut. ATS juga meminta TNI AU memperpanjang masa kontrak bandara hingga 10 Februari 2035.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ATS mengaku sudah memberi tahu AP II yang mengelola Bandara Halim mengenai hal ini. Bahkan ATS mengajak AP II untuk kerja sama memanfaatkan tanah dan objek perjanjian di bandara tersebut.
"Akan tetapi Tergugat II (AP II) tidak merespons secara positif dengan tindakan konkret untuk menanggapi maksud atau iktikad baik Penggugat, akan tetapi Tergugat II bahkan tetap menguasai atau mengelola lahan dan/atau apa saja yang berdiri di atas Objek Perjanjian tanpa alas hak yang sah atau tanpa izin dari Penggugat sebagai pemilik hak kelola atau memanfaatkan atas tanah dimaksud yang berakibat hak Penggugat tersebut dilanggar oleh Tergugat II," lanjut isi PK tersebut.
Tak terima digugat ATS, AP II pun mengajukan eksepsi. AP II membantah, menyangkal, dan menolak seluruh dalil ATS dalam gugatannya. Dalam eksepsinya, AP II menilai gugatan ATS ceroboh dan kabur sebab yang digugat justru ATS sendiri sebagai subjek hukum lantaran Induk Koperasi TNI AU sebagai Tergugat I memegang 20 persen saham ATS.
ADVERTISEMENT
AP II Layangkan Bukti: Izin Kelola 50 Tahun dari TNI AU hingga Kemenkeu
AP II juga melampirkan sejumlah bukti untuk menguatkan perusahaan yang seharusnya mengelola Bandara Halim Perdanakusuma. Bukti yang disodorkan adalah adanya kesepakatan antara AP II dan TNI AU pada 31 Januari 2011terkait pemanfaatan Halim Perdanakusuma sebagai salah satu Pangkalan Udara milik TNI AU untuk digunakan bersama sebagai Bandar Udara, dengan jangka waktu pemanfaatan paling lama selama 50 tahun.
Bahwa Pemohon PK (AP II) mempunyai bukti baru (novum) berupa Kesepakatan Bersama Nomor: KB/4/I/2011, AU/833/KUM.18/I/ 2011, SP.06/HK.09.01/2011/DU, PJJ.04.07.01/00/01/2011/010 tanggal 31 Januari 2011 tentang Pengaturan Penggunaan Bersama Pangkalan Udara dan Bandar Udara, antara TNI Angkatan Udara (berdasarkan Surat Perintah Kasau Nomor Sprin/1649/XII/2010 tanggal 27 Desember 2010 diwakili oleh Sukirno KS, S.E., M.M., Pangkat Marsekal Madya TNI, selaku Wakil Kepala Staf Angkatan Udara), dengan Ditjend Perhubungan Udara (diwakili oleh Herry Bakti selaku Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan), PT Angkasa Pura I (Persero) (berdasarkan persetujuan dari Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham melalui Surat Nomor S-607/MBU/2010 tanggal 28 September 2010, diwakili oleh Tommy Soetomo selaku Direktur Utama), dan PT Angkasa Pura II (Persero) (berdasarkan persetujuan dari Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham melalui Surat Nomor S-605/MBU/2010 tanggal 28 September 2010, diwakili oleh Tri S. Sunoko selaku Direktur Utama).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, MA menolak Permohonan Peninjauan Kembali AP II sebab bukti yang diajukan BUMN tersebut dianggap tak kuat melawan perjanjian antara ATS dan TNI AU yang dilakukan pada 2006.
Alih Kelola Bandara Halim Tunggu Persetujuan Sri Mulyani
Alih kelola Bandara Halim Perdanakusuma, harus melalui persetujuan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai pengelola. Hal tersebut diungkapkan Direktur Barang Milik Negara (BMN) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu, Encep Sudarwan, dalam Media Briefing DJKN, Jumat (22/7).
"Bandara Halim itu memang BMN. Kalau pemanfaatan BMN, prinsipnya harus izin ke Kemenkeu sebagai pengelolaan barang, kementerian lainnya sifatnya hanya sebagai pengguna barang," kata Encep.
Menurut Encep, pemanfaatan Bandara Halim boleh dikerjasamakan dengan pihak swasta maupun BUMN, melalui kerja sama pemanfaatan (KSP).
ADVERTISEMENT
"Yang berhak membuat perjanjian adalah pengguna barang, dalam hal ini Kementerian Pertahanan. Soal di Kementerian Pertahanan akan didelegasikan kepada siapa, yang jelas itu di Kementerian Pertahanan dan dengan investornya," ungkap dia.