Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lebih dari tiga dekade, toko yang menyediakan perlengkapan outdoor bernama Alpina , berdiri di kawasan Cisitu Lama, Dago, Kota Bandung. Sabtu pekan lalu, terlihat beberapa barang mulai dari sepatu, pakaian hingga tas dipajang rapi di toko tersebut. Tiga orang penjaga sibuk melayani pembeli. Suasana toko Alpina cukup ramai saat itu.
Di halaman depan toko, ada kedai makanan dan minuman dijajakan dengan anak-anak muda yang sedang duduk bercengkerama. Dari seberang jalan, Paidjan Adriyanto (67) atau yang akrab disapa Yanto, melangkah ke dalam toko Alpina. Pria beruban itu menyapa lalu mengajak kumparan berbincang di rumahnya yang bersebelahan dengan toko.
Sambil menikmati secangkir teh, Yanto mulai bercerita mengenai Alpina, produk lokal yang terkenal di era tahun 1990-an. Menurut dia, berdirinya Alpina tak terpisahkan dari produk lokal bernama Jayagiri, toko perlengkapan outdoor pertama di Tanah Air. Yanto sempat bekerja di Jayagiri dari 1980 hingga 1985 di bagian administrasi hingga penjualan.
Lima tahun bekerja di sana, pada 1 Agustus 1985 Yanto memutuskan keluar. Dia dapat pesangon Rp 1,5 juta. Dari total uang pesangon itulah, Yanto sisihkan Rp 800 ribu untuk mendirikan Alpina, akronim dari Alam Pegunungan Indonesia.
Tiga tahun berjalan, Alpina masih sepi pembeli. Bahkan, Yanto mengaku istrinya sempat ragu dengan rintisan bisnisnya itu. Namun Yanto tetap optimistis. Dia memiliki hitungan, kalau lima tahun bisnisnya masih sepi, dia akan banting setir memilih bisnis yang lain.
"Ternyata tahun keempat agak bergerak dan tahun 1990 Alpina booming. Kami kewalahan karena sudah mulai tren. Nah, kota besar pulau Jawa, provinsi dan kabupaten kami bisa suplai. Kami berkembang," kata Yanto.
Alpina kian berkembang dan order tak pernah putus. Yanto mengaku kewalahan karena permintaan begitu deras. Jumlah karyawannya pun ditambah. Penjahit yang tadinya hanya puluhan orang, dia rekrut hingga berjumlah 400 orang. Omzetnya cukup fantastis untuk nilai saat itu, mencapai Rp 2 miliar per bulan.
Menurut Yanto, Alpina berkibar karena waktu itu cenderung tidak ada pesaing dan belum maraknya produk outdoor dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Selain itu, produk yang dijualnya memang dibuat dengan bahan terbaik yang didatangkan dari Jepang, dengan daya tahan lebih tinggi. Inilah yang menjadi kekuatan Alpina.
"China belum masuk ke Indonesia. Produk lokal full bahan-bahan dari lokal atau bahan dari luar. Saya kebetulan bahannya dari luar dan diproduksi full di lokal," jelas dia.
Alpina pun mulai ekspansi ke berbagai kota. Ada 150 toko yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Kota atau Kabupaten dengan penghasilan penduduknya yang tinggi, menjadi penyumbang pendapatan terbesar Alpina. Tak hanya di dalam negeri, Alpina juga merambah pasar luar negeri seperti Jepang dan Timur Tengah.
"Yang 150 toko hampir seluruh Indonesia, kota provinsi pasti ada semua. Dan kota kabupaten yang kotanya itu besar atau ada tambangnya, berpenghasilan tambang, rata-rata ramai. Kami juga ekspor ke Jepang dan Timur Tengah," ungkap dia.
Namun kejayaan Alpina merosot saat badai krisis moneter melanda Indonesia pada 1998. Pendapatan Alpina tergerus, tersisa tinggal 25 persen, ditambah penurunan kurs rupiah yang sempat menyentuh nilai terendahnya Rp 16.650 per dolar AS. Produk outdoor buatan luar negeri mulai masuk dengan jumlah cukup besar.
Sejak saat itu, toko-toko mulai dikurangi. Bisnisnya stagnan dan tersisa hanya satu outlet di kawasan Cisitu Lama. Penjualan barang hanya seadanya. Bahkan pada 2007, di Outlet Alpina tidak banyak barang yang dijual. Kebanyakan masih sisa produksi lama. Sejak saat itu, penjualan dilakukan seadanya saja.
Bisnis Alpina bergeliat lagi mulai 2010. Penjualan kembali ramai. Meskipun banyak brand lokal baru dan produk impor, Alpina masih banyak peminatnya, terutama para pecinta olahraga alam era 90-an. Mereka seperti bernostalgia dengan produk Alpina.
Yanto mengaku pendapatan Alpina kini sudah mulai stabil. Per bulannya mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar. Dalam era digital saat ini, Alpina tak perlu membuka outlet di setiap daerah seperti tiga dekade silam. Cukup menjual melalui platform marketplace.
Dia melibatkan anak keempatnya yang lebih paham tentang teknologi. 60 persen penjualan Alpina saat ini berasal dari online, bukan offline dengan para pembeli datang ke outlet. Selain itu, dia mengandalkan para reseller yang kini jumlahnya 15 orang.
Yanto mengaku cukup bangga karena produknya masih diminati masyarakat. Adapun penjualan secara online mulai dirintis pada tahun 2016 dan mulai berkembang hingga sekarang. Melalui online pula, dia berani bersaing dengan produk kekinian yang marak tersebar.
"Sekarang dialihkan penjualan ke online. Toko-toko yang akhirnya udah habis kontraknya enggak saya perpanjang. Sekarang buka online saja. Reseller saya sudah cukup banyak. Jadi 60 persen penjualan itu dari online," tutur dia.
Terkait produk yang dijadikan unggulan, Yanto mengaku bergantung musim. Apabila musim hujan, dirinya akan memproduksi lebih banyak jaket dan jas hujan. Namun, dia mengakui produk yang paling diminati yaitu celana lapangan. Menurut dia, celana lapangan yang diproduksinya dikenal memiliki daya tahan yang kuat. Sementara, tas atau day pack sulit diunggulkan karena persaingan pasar begitu ketat.
"Kalau celana kan hanya dikit yang bikin dan terkenal celana saya sangat kuat. Itu aja. Sama jaket dan jas hujan itu bahannya masih dari luar. Itu masih jadi unggulan," ucap dia.
Harga produk yang dijualnya juga masih terjangkau, berkisar Rp 100 hingga 400 ribu. Sementara jumlah karyawan kini hanya berjumlah 40 orang saja.
Usia Yanto kini memang sudah senja. Ambisinya tak lagi muluk-muluk ingin membuat Alpina kembali berjaya seperti di masanya dulu. Yanto, yang kini juga memiliki bisnis lain di bidang obat-obatan, minimarket, hingga properti, mengaku hanya ingin produk tetap dicintai konsumen.
"Tidak seambisius dulu, yang penting produk Alpina masih bisa bersaing di pasaran," katanya.