Bank Indonesia Waspadai Tapering Off yang Diprediksi Dilakukan November 2021

14 September 2021 18:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) mewaspadai pengetatan kebijakan moneter (tapering off) yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve. Berdasarkan perkiraan BI, tapering off akan terjadi November 2021.
ADVERTISEMENT
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, Bank Sentral AS akan tapering off secara bertahap. BI pun sudah membuat perhitungan untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan ini.
“Kami antisipasi ke market. Karena sudah mulai terlihat gejolak, khususnya di emerging market. Tekanan di mata uang emerging market tinggi, termasuk nilai tukar rupiah," katanya dalam rapat kerja di Komisi XI DPR RI, Selasa (14/9).
Meski tetap mewaspadai dampaknya, Destry menyebut kondisi tapering off pada saat ini tidak akan separah kondisi pada 2013 silam. Saat itu, Indonesia mengalami taper tantrum yaitu kondisi bergejolaknya pasar lantaran bank sentral memperketat kebijakan.
Taper tantrum terjadi pada 2013 karena The Fed melakukan tapering off secara mendadak sehingga membuat gejolak dalam bagi negara lain, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Destry, saat itu Indonesia juga belum memiliki instrumen keuangan yang lengkap dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah saat taper tantrum terjadi.
Fundamental Diyakini Kuat Hadapi Tapering Off, Intervensi SBN Terukur
Sementara di tahun ini, dia melihat komunikasi The Fed lebih jelas dan terbuka, sehingga dunia bisa mengantisipasinya. Dia yakin kondisi fundamental Indonesia saat ini sudah kuat dibandingkan 2013.
Hal ini terlihat dari cadangan devisa Indonesia pun terlihat tambun, yakni mencapai USD 144 miliar di akhir Agustus lalu. Jumlah tersebut dianggap cukup menjaga nilai tukar rupiah untuk tidak berfluktuasi terlalu dalam.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI juga terus melakukan Triple Intervention di pasar spot, DNDF, dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder di tengah ketidakpastian pasar keuangan. Menurutnya, pembelian SBN di pasar sekunder untuk menstabilkan rupiah dikarenakan aksi jual (sale-off) para investor.
New York Federal Reserve Bank Foto: REUTERS/Brendan McDermid
Intervensi BI di pasar SBN juga untuk mengantisipasi tekanan terhadap pasar keuangan domestik dan mencegah imbal hasil surat utang pemerintah meningkat signifikan. Ia menegaskan bahwa intervensi BI di pasar akan dilakukan secara terukur dengan mempertimbangkan kapasitas dan berjalannya mekanisme pasar. Jadi tidak serta merta BI selalu melakukan intervensi secara besar.
ADVERTISEMENT
“Kalau BI (tidak) melakukan intervensi besar-besaran saat terjadi sale off maka cadangan devisa dipastikan akan turun dalam. Kami bisa pertahankan cadev dengan instrumen instrumen yang ada dan kondisi pasar cepat berbalik karena adanya percaya confidence (kepercayaan) pasar terkait penanganan pandemi COVID-19," katanya.
Destry melaporkan, BI telah membeli SBN di pasar perdana Rp 16,65 triliun pada periode Juli hingga akhir Agustus 2021, sehingga secara total (Januari-Agustus 2021) pembelian SBN di pasar perdana Rp 137,49 triliun.
Destry membeberkan, pembelian SBN di pasar perdana selama 8 bulan terakhir sebesar Rp 137,49 triliun terdiri dari pembelian Rp 62,03 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 75,4 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).
Sebelumnya, pada semester I 2021, BI juga membeli SBN melalui pasar perdana Rp 120,83 triliun dari 26 kali lelang yang dilakukan pemerintah. Rinciannya, pembelian Surat Utang Berharga (SUN) Rp 79,66 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 41,18 triliun.
ADVERTISEMENT