Bappenas: Simplifikasi dan Kenaikan Tarif Cukai Bisa Kurangi Konsumsi Rokok

26 Agustus 2020 8:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok naik pada tahun depan. Kenaikan tarifnya akan diumumkan pada akhir September atau awal Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai diperlukan adanya intervensi dari pemerintah untuk pengendalian konsumsi rokok. Upaya ini bertujuan untuk menurunkan prevalensi merokok, yang diprediksi akan mengalami peningkatan menjadi 15,9 persen di 2030, jika tidak ada inovasi aturan cukai.
Kasubdit SDM dan Pembiayaan Kesehatan Bappenas Renova Siahaan mengatakan, inovasi aturan menjadi sangat penting setelah kenaikan tarif cukai. Menurutnya, sebesar 52,1 persen penduduk di Indonesia pertama kali merokok pada usia 15-16 tahun.
“Bahkan 23,1 persen itu di usia 10-14 tahun serta di usia 5-9 tahun sebesar 2,5 persen. Ini menjadi awareness kita bersama bahwa anak-anak di Indonesia sudah merokok," kata Renova dalam keterangannya, Rabu (26/8).
Seorang petani mengeringkan tembakau di Desa Mandalahaji, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (13/82018). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Dia menekankan, salah satu cara untuk mengurangi keterjangkauan remaja terhadap rokok yakni melalui reformasi kebijakan cukai. Tak hanya itu, kenaikan tarif cukai perlu disertai dengan penyederhanaan struktur tarif atau simplifikasi.
ADVERTISEMENT
“Beberapa reformasi atau inovasi telah dilakukan, di antaranya kaitannya dengan reformasi fiskal. Dalam bab ketahanan ekonomi, secara khusus salah satu strategi kami adalah menyederhanakan struktur tarif cukai,” jelasnya.
Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun turun menjadi 5,4 persen. Namun di akhir 2019, justru terjadi kenaikan 9,1 persen.
“Kenapa sebenarnya konsumsi rokok di Indonesia itu tinggi? Terutama meningkat di kalangan anak-anak dan remaja. Jadi kalau kita lihat faktanya harga rokok memang masih murah dan terjangkau,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT) Indonesia Yuliati Umrah menuturkan, saat ini anak-anak masih dapat mengakses rokok secara bebas dan terbuka. Padahal seharusnya obat, alkohol, dan rokok bisa dikendalikan agar tidak menyasar anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Kita juga perlu sepaham bahwa kondisi saat ini tidak boleh menggerus bonus demografi yang akan disumbang generasi saat ini. Oleh karenanya, edukasi adalah kunci untuk mengatasi penyalahgunaan konsumsi dan merawat generasi,” jelas Yuliati.
Kenaikan tarif cukai rokok sendiri sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020, yang merupakan aturan turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 mengenai RPJMN 2020-2024.
Selain kenaikan tarif, dalam RPJMN tersebut pemerintah juga berencana akan melakukan simplifikasi tarif cukai rokok. Dari saat ini sebanyak sepuluh layer menjadi hanya tiga hingga lima layer di 2024.
Meski demikian, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi baru memastikan adanya kenaikan tarif di 2021. Sementara untuk penyederhanaan tarif, dia masih enggan menjelaskan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
“Pertanyaannya, kapan itu tarif diumumkan? Kalau secara historis biasanya kita Kemenkeu umumkan akhir September atau awal Oktober, dan akan konsisten dengan sebelum-sebelumnya," kata Heru saat konferensi pers APBN KiTa secara virtual, Selasa (25/8).
Hingga Juli 2020, penerimaan cukai mencapai Rp 88,4 triliun atau tumbuh 7 persen (yoy). Dari penerimaan tersebut, cukai rokok menyumbang paling besar yakni Rp 85,5 triliun atau tumbuh 8,09 persen (yoy), salah satunya karena adanya kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 23 persen sejak Januari 2020.