Ahok diplot mengisi posisi di Pertamina.

Beban Berat Ahok di Kursi Komisaris

22 November 2019 11:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ahok diplot mengisi posisi Komisaris Utama Pertamina. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ahok diplot mengisi posisi Komisaris Utama Pertamina. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) segera menduduki kursi Komisaris Utama Pertamina. Ia akan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Pertamina yang direncanakan berlangsung hari ini, Jumat (22/11).
Ahok pun mesti bersiap dengan setumpuk beban berat yang akan diletakkan di pundaknya. Terlebih, Kementerian ESDM bakal memperkuat wewenang komisaris ke depannya.
“Ke depan, komisaris akan jadi andalan kementerian. Kan yang mewakili pemegang saham di perusahaan itu komisaris, dan dia yang melakukan pengawasan (terhadap perusahaan). Jadi kementerian tidak perlu lagi terlalu mengawas-ngawasi,” ujar Juru Bicara Kementerian BUMN Arya Sinulingga, Kamis (21/11).
Ia menambahkan, “Ngapain kami angkat-angkat komisaris kalau yang mengawasi lalu kementerian lagi. Makanya ke depan interaksi (pemerintah) akan lebih banyak ke komisaris. Itu sebabnya pemilihan komisaris menjadi sangat penting.”
Selama ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, komisaris bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero. Ia bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN.
Secara spesifik, seorang Komisaris Pertamina mempunyai tugas antara lain untuk menyusun pembagian tugas antaranggota dewan komisaris; menelaah rencana jangka panjang, rencana kerja, dan anggaran perusahaan; menyusun program kerja tahunan dewan komisaris; menelaah laporan berkala dan laporan tahunan yang disiapkan direksi, dan mengusulkan kepada RUPS penunjukan auditor eksternal yang akan melakukan pemeriksaan atas buku-buku perseroan.
Kini, pemerintah menekankan bakal memperkuat pengawasan terhadap seluruh BUMN yang berjumlah sekitar 140 perusahaan, melalui komisaris-komisaris yang mereka tunjuk.
Nantinya, di kursi komisaris, Ahok mesti memperhatikan sejumlah masalah yang menjadi tantangan Pertamina selama ini dan di kemudian hari.
Foto: Dok. Petral
Perkara mafia migas ada di urutan pertama. Ini masalah yang telah mengakar di Pertamina sejak masih dipimpin Letjen (Purn) Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina pertama.
Saat ini, misalnya, KPK tengah menyelidiki kasus mafia migas di Pertamina Energy Trading Limited (Petral)—anak perusahaan Pertamina. Eks Presiden Direktur Petral, Bambang Irianto, pun sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 10 September 2019.
Bambang, yang menjabat di Pertamina sejak 2009, disebut KPK menerima aliran dana dari Kernel Oil, perusahaan migas asal Singapura, terkait perdagangan minyak mentah kepada Pertamina Energy Services (PES)—anak usaha Petral di Singapura.
Bambang Irianto diperiksa sebagai tersangka di KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Berdasarkan konstruksi perkara oleh KPK, terdapat pengaturan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES. Dengan kata lain, tender-tender pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak sudah diatur untuk memenangkan perusahaan tertentu.
Indikasi penyimpangan-penyimpangan dalam pengadaan minyak mentah di Petral sesungguhnya sudah ditemukan empat tahun lalu oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin ekonom Faisal Basri.
“Ada anomali pada bidding (untuk lelang pengadaan minyak mentah di Petral). Yang boleh ikut hanya NOC (national oil company), tapi pemenangnya bukan dari negara-negara produsen minyak, melainkan perusahaan dari Maldives, Italia, Thailand,” ujar Fahmy Radhi, mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, kepada kumparan, Selasa (10/9).
Menurutnya, pemenang tender bisa diatur karena ada pejabat di Petral dan PES yang bekerja sama dengan perusahaan tertentu. Kepada perusahaan itu, pejabat tersebut memberikan bocoran informasi sehingga perusahaan terkait bisa membuat penawaran lebih baik ketimbang perusahaan-perusahaan lain yang ikut lelang.
“Jadi bisa menang karena dapat info dari orang dalam yang membocorkan informasi-informasi penting, misalnya harga,” kata Fahmy.
Kini, Petral sudah dibubarkan dan pengadaan minyak mentah serta BBM dijalankan oleh Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina. Meski demikian, pengadaan-pengadaan semacam itu jamak dikenal rawan sehingga perlu mendapat pengawasan ketat.
Kilang Pertamina di Balikpapan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Masalah kedua di Pertamina adalah impor migas yang tak hanya membebani perusahaan, tapi juga neraca perdagangan nasional. Pada 2018, misalnya, penyebab defisit neraca perdagangan sebesar USD 8,57 miliar—terbesar sepanjang sejarah Indonesia—ialah akibat membengkaknya impor migas.
Indonesia sekarang mengimpor 800 ribu barel minyak setiap hari—sekitar 50 persen dari kebutuhan nasional. Tiga tahun lagi, 2022, Indonesia bahkan diprediksi menjadi importir gas andai eksplorasi dan infrastruktur gas yang dibangun tak memadai.
Angka impor itu membesar karena produksi migas terus turun.
Tren produksi migas Indonesia terus turun. Foto: INDEF/Faisal Basri
Produksi migas yang konsisten turun itu menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan tambahan cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar agar impor minyak tak membengkak. Saat ini, Indonesia memiliki 3,3 miliar barel cadangan migas dan 300 juta barel produksi minyak per tahun.
Sebenarnya Indonesia masih punya potensi migas cukup besar. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, per awal 2018 terdapat 128 cekungan di seluruh Indonesia yang berpotensi memiliki kandungan hidrokarbon—senyawa migas. Dari 128 cekungan tersebut, 74 di antaranya belum dieksplorasi.
Pertamina terhitung tak rajin mencari cadangan migas baru. Cadangan besar yang terakhir kali ditemukan Pertamina berlokasi di Jatibarang, Indramayu, pada 1967 atau 52 tahun lalu.
“Sudah sekian tahun tidak ada eksplorasi besar, sampai (produksi minyak) kita menurun, menurun, dan menurun sehingga semakin lama impor kita semakin banyak,” kata Jokowi saat menghadiri Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition, Mei 2018.
Pejabat Pertamina tentu diharapkan bisa mendorong eksplorasi migas tersebut.
Mencari cadangan migas baru di Selat Malaka. Foto: Dok. Pertamina
Tantangan berikutnya ialah inkonsistensi kebijakan pemerintah terhadap harga BBM. Pertamina harus menanggung subsidi BBM Solar, juga menanggung selisih harga keekonomian dan harga jual BBM Premium yang tarifnya diatur oleh pemerintah.
Hal tersebut memberatkan Pertamina kala memasuki tahun politik, misalnya menjelang Pemilu Presiden 2019. Ketika itu pemerintah menetapkan tak bakal ada kenaikan harga BBM Premium hingga akhir tahun, padahal harga minyak dunia bergerak fluktuatif. Dampaknya, Pertamina harus merugi dari penjualan Premium dan solar mereka.
Padahal, Jokowi di awal pemerintahan periode pertamanya dulu sempat menyebut hendak mereformasi sektor energi dengan mencabut subsidi BBM Premium yang kurang tepat sasaran karena 70 persen penerimanya bukan orang miskin.
Memang, pada November 2014, Jokowi sempat berani tidak populer dengan mengumumkan kenaikan harga Premium dan Solar. Ia juga kala itu mengganti skema subsidi solar menjadi subsidi tetap Rp 1.000 per liter sehingga harga Premium dan Solar naik-turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Namun kebijakan itu hanya berjalan satu setengah tahun hingga April 2016. Sejak saat itu sampai sekarang, harga Premium dan Solar tak lagi mengikuti harga minyak dunia. Padahal harga minyak telah melonjak dua kali lipat.
Beban terkait BBM lainnya ialah penerapan BBM Satu Harga di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T). Program dengan tujuan mulia ini—membuat harga BBM Solar dan Premium merata di semua daerah—nyatanya membuat keuangan perusahaan kembang kempis, meski Pertamina mengatakan tak terbebani.
SPBU Pertamina. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Keuangan Pertamina juga jadi perhatian. Dalam laporan keuangannya pada 2018, Pertamina memang mencatatkan laba bersih USD 2,53 miliar atau Rp 35,99 triliun. Namun, laba bersih itu terutama disokong dari pendapatan kompensasi yang cukup besar senilai Rp 41 triliun.
Dana kompensasi tersebut merupakan sumber pemasukan baru perusahaan yang tidak ada pada laporan keuangan tahun sebelumnya. Baru pada 2018 Pertamina mengajukan kompensasi kepada pemerintah karena ada pendapatan perusahaan yang hilang akibat harga BBM selama 2018 tak dinaikkan meski nilai tukar dolar AS dan harga minyak dunia meningkat.
Pendapatan kompensasi tersebut sebenarnya masih berupa piutang, sedangkan uangnya belum sampai ke tangan Pertamina. Pemerintah harus menganggarkan terlebih dahulu di APBN. Maka, Ahok sebagai komisaris baru nantinya diharapkan dapat membuat tata kelola perusahaan membaik sehingga keuangan Pertamina lebih sehat.
Ahok Berlabuh di Pertamina. Desainer: Maulana Saputra/kumparan
_________________
Update: Jumat sore (22/11), enam jam setelah artikel ini diterbitkan, Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten