Beda Kebijakan Jonan dan Arifin Tasrif soal Energi Terbarukan

29 Desember 2019 17:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serah Terima Jabatan Menteri ESDM Ignasius Jonan kepada Arifin Tasrif untuk Periode 2019-2024 di Kementerian ESDM.  Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Serah Terima Jabatan Menteri ESDM Ignasius Jonan kepada Arifin Tasrif untuk Periode 2019-2024 di Kementerian ESDM. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di era Arifin Tasrif saat ini sedang menyiapkan aturan baru terkait harga beli dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (EBT) yang akan menggunakan skema feed in tariff untuk formula harga yang baru.
ADVERTISEMENT
Kebijakan baru ini akan menggantikan formula harga beli listrik dari pembangkit EBT saat ini dihitung berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan PLN seperti tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Permen ESDM No. 50/2017 dibuat ketika Kementerian ESDM dipimpin oleh Ignasius Jonan.
Perombakan kebijakan di bidang EBT ini menjadi salah satu upaya Arifin Tasrif untuk mencapai target pemanfaatan EBT sebesar 23 persen di dalam bauran energi di tahun 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Aturan baru harga EBT akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang saat ini sudah diproses oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa berdasar skema feed in tariff kali ini harga akan dibedakan berdasarkan jenis sumber EBT-nya, karena setiap EBT memiliki perbedaan biaya dan teknologi.
ADVERTISEMENT
"Contohnya geothermal, lain dengan solar panel, lain dengan biomassa, dengan hydro. Kalau geothermal kan mirip-mirip migas, mengebor dan survei," jelas Arifin seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM, Minggu (29/12).
Lebih lanjut Arifin memastikan, kebijakan baru ini lebih ramah investor serta tidak merugikan. Dengan skema yang baru ini diharapkan pembangunan pembangkit EBT tetap berjalan.
Selain itu saat ini sedang digodok bahwa masa berlaku tarif nanti akan disesuaikan dengan depresiasi cost yang akan terus menurun sehingga beban PLN tidak terlalu berat.
"Supaya ke depan beban PLN tidak terlalu berat, jangan dipukul rata semua, padahal biayanya sudah turun, kan ada depresiasi," jelas Arifin.