Belajar dari Sri Lanka, RI Harus Cepat Antisipasi Krisis Ekonomi

23 April 2022 15:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendukung partai politik oposisi Sri Lanka National People's Power berpartisipasi dalam demonstrasi anti-pemerintah di Kolombo, Sri Lanka, Selasa (19/4/2022). Foto: Eranga Jayawardena/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung partai politik oposisi Sri Lanka National People's Power berpartisipasi dalam demonstrasi anti-pemerintah di Kolombo, Sri Lanka, Selasa (19/4/2022). Foto: Eranga Jayawardena/AP Photo
ADVERTISEMENT
Ekonom Paramadina dan juga Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi periode 2014-2019, Wijayanto Samirin memberikan kuliah umum yang membahas Sri Lanka dari berbagai aspek, Sabtu (23/4). Dalam kuliah umum tersebut, Wijayanto menguraikan berbagai problem yang dihadapi Sri Lanka, mulai segi politik, budaya, ekonomi, dan juga analisis kritis dibalik krisis ekonomi yang menimpa Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Dalam diskursus kuliah umum tersebut problematika yang dihadapi Sri Lanka ini menurut Wijayanto dapat menjadi menjadi buah pelajaran bagi Indonesia ke depannya.
“Bagi indonesia krisis di negara lain itu fenomena penting. Karena yang terjadi di negara lain suatu saat akan terjadi di negara kita. Daripada kita mengalami juga mending belajar dari negara lain,” ujarnya dalam acara Kebangkitan Ekonomi Sri Lanka dan Pakistan: Risiko yang Dihadapi Indonesia dan Upaya Memitigasi secara daring, Sabtu (23/4).
Wijayanto menjelaskan beberapa aspek yang terjadi di Sri Lanka, dengan mengaitkan kasus-kasus yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia, seperti trend anti demokrasi yang terjadi pada masa Orde Baru, krisis ekonomi, kebijakan infrastruktur, dan juga pengelolaan pangan dan energi.
ADVERTISEMENT
Menurut Wijayanto faktor yang membuat Sri Lanka mengalami gejolak dan krisis akibat dari demokrasi yang terdegradasi. Menurutnya ini disebabkan oleh banyaknya politisi yang mengeluarkan kebijakan yang buruk, terlebih lagi sistem ketatanegaraan di Sri Lanka dijalankan oleh politik dinasti Clan Rajapaksa.
“Karena demokrasinya tidak berfungsi dengan baik, muncul politisi yang lalai dan korup, hasilnya adalah kebijakan yang buruk tidak untuk kepentingan rakyat atau kepentingan rakyat tertentu,” jelas Wijayanto.
Jika Indonesia tidak belajar dari Sri Lanka, Wijayanto mengindikasikan Indonesia bisa saja sewaktu-waktu akan mengalami krisis seperti yang terjadi pada Sri Lanka“Indonesia memiliki symptoms atau gejala-gejala yang sama, jika tidak diantisipasi ini akan terjadi seperti sri lanka,” ucap Wijayanto
Selain itu, Wijayanto juga menguraikan beberapa poin penting sebagai antisipasi sekaligus pelajaran bagi Indonesia agar tidak mengalami hal yang sama dengan Sri Lanka, di antaranya adalah meredam eskalasi keterbelahan politik, membuang jauh wacana anti demokrasi, memperbaiki sustanibilitas fiskal dengan efisiensi penyaluran dan optimalisasi pendapatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengelolaan utang, yakni dengan memanfaatkan utang hanya untuk hal-hal produktif, serta menghindari kebijakan publik yang berpotensi menurunkan rating Indonesia.
Berdasarkan data Bank Sentral Sri Lanka (CBSL), total utang luar negeri Sri Lanka per akhir tahun 2021 sekitar USD 51 miliar atau Rp 729 triliun (kurs Rp 14.300). Angka ini sebesar 60,85 persen dari produk domestik bruto (PDB) Sri Lanka.
Adapun utang luar negeri Sri Lanka yang jatuh tempo tahun ini sebesar USD 7 miliar. Sementara kondisi keuangan Sri Lanka terus menurun, bahkan cadangan devisa yang seharusnya cukup untuk bayar utang, per Maret 2022 hanya tinggal USD 1,6 miliar. Akhirnya pada 12 April lalu, Sri Lanka mengumumkan mengalami default pada seluruh utang luar negerinya.
ADVERTISEMENT
***
Ikuti giveaway kumparanBISNIS dan dapatkan hadiah saldo digital total Rp 1,5 Juta, klik di sini. Kegiatan giveaway ini terbatas waktunya, ayo segera gabung!