Benarkah Negara Punya Utang Rp 1,9 Triliun ke Lapindo?

2 Juli 2019 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi tanggul Lapindo masih rawan, Sabtu (6/10/2018). Foto: Phasky Sukowati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi tanggul Lapindo masih rawan, Sabtu (6/10/2018). Foto: Phasky Sukowati/kumparan
ADVERTISEMENT
Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya memiliki utang Rp 773,38 miliar ke pemerintah. Pada 2015, cucu usaha Grup Bakrie itu meminta bantuan pemerintah untuk menalangi pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur Sidoarjo. Adapun jatuh tempo utang tersebut pada akhir Juni 2019.
ADVERTISEMENT
Namun, persoalan muncul karena Lapindo mengklaim bahwa pemerintah juga punya utang ke mereka, besarnya mencapai USD 138,23 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun (kurs dolar Rp 14.200). Lapindo meminta utang sebesar Rp 773,38 miliar dibayar terlebih dahulu dengan piutang itu.
Lapindo mengklaim piutang Rp 1,9 triliun berasal dari dana talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan lumpur Sidoarjo yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya selama periode 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007.
Biaya untuk penanggulangan luapan lumpur itu dimasukkan sebagai cost recovery, yakni pengembalian atas biaya operasi yang dikeluarkan Lapindo sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kegiatan hulu migas.
Benarkah pemerintah punya utang Rp 1,9 triliun ke Lapindo?
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Watch Energy Indonesia, Mamit Setiawan, menjelaskan bahwa cost recovery tidak bisa diklaim sebagai piutang kepada negara. Dalam usaha hulu migas, Lapindo dan negara terikat Production Sharing Contract (PSC) alias kontrak bagi hasil.
Sebagai KKKS, Lapindo ditugasi negara untuk mencari cadangan migas dan memproduksinya. Hasil produksi migas itu kemudian dibagi, ada bagian kontraktor dan ada bagian negara. Cost recovery masuk dalam perhitungan bagi hasil itu.
"Jadi tidak ada namanya pemerintah punya utang ke KKKS. Dalam rezim cost recovery, tidak ada namanya piutang," tegas Mamit kepada kumparan, Selasa (2/7).
Lumpur Lapindo. Foto: Antara/Eric Ireng
Selain itu, cost recovery harus diaudit terlebih dahulu untuk diperiksa, biaya-biaya mana saja yang memang wajib diganti negara dan mana yang harusnya tak ditanggung negara.
ADVERTISEMENT
Angka sebesar Rp 1,9 triliun yang disebut Lapindo itu belum melalui proses audit. Jumlahnya belum tentu sebesar itu.
"Unrecover cost harus diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan sebagainya. Ada beberapa biaya yang menurut SKK Migas bisa ditagihkan, tapi namanya bukan piutang. Itu dibayar dari hasil produksi migas Lapindo," ujar Mamit.
"Saya khawatir apa yang dilakukan Lapindo ini jadi bargain untuk meniadakan atau menunda utang. Dengan produksi migas yang kecil, menagih Rp 1,9 triliun ke pemerintah adalah tindakan yang tidak elok," tutupnya.