Berita Populer: Karyawan Garuda Protes PCR; 20 Negara Lolos Middle Income Trap

5 Agustus 2021 8:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas kesehatan mengambil sampel lendir seorang warga saat tes usap RT PCR COVID-19 massal di Kantor Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/1).  Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan mengambil sampel lendir seorang warga saat tes usap RT PCR COVID-19 massal di Kantor Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/1). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Karyawan Garuda Indonesia yang tergabung dalam serikat bersama (sekber) menuding pemerintah diskriminatif terhadap moda transportasi udara karena mewajibkan penumpang pesawat menunjukkan hasil PCR H-2 sebelum melakukan penerbangan. Tudingan ini menjadi berita populer di kumparanBisnis.
ADVERTISEMENT
Koordinator Sekber Garuda Indonesia, Tommy Tampatty, mendesak pemerintah untuk melakukan tinjauan ulang terhadap aturan wajib menunjukkan hasil tes PCR tersebut. Sebab penumpang moda transportasi lain seperti mobil pribadi, sepeda motor, bus, kereta api dan kapal laut, diperbolehkan hanya menunjukkan hasil Swab Antigen H-1.
"Maka kami menyampaikan tanggapan dan saran kepada pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali atas instruksi tersebut karena menjadi tanda tanya besar," ujar Tommy dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Rabu (4/8).
Padahal menurutnya, pesawat memiliki waktu tempuh yang jauh lebih singkat dibandingkan moda transportasi lain. Bahkan menurut Tommy, pesawat Garuda Indonesia juga telah dilengkapi dengan sistem penyaringan udara yaitu High Efficiency Particulate Air (HEPA Filter) sehingga pesawat aman dari virus. Selain itu armada pesawat pelat merah tersebut juga rutin melakukan penyemprotan disinfektan.
ADVERTISEMENT
Menurut Tommy, kewajiban untuk melakukan test PCR sebelum terbang sangat membebani calon penumpang. Sebab harga test PCR cenderung mahal. Tidak jarang harga test PCR lebih tinggi dibandingkan harga tiket pesawat untuk rute tertentu.
Pebulu tangkis ganda putri peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Greysia Polii, setibanya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (4/8/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO

Sampah Elektronik Bahan Medali Emas Olimpiade, Setara 10 Kali Sampah Bantar Gebang

Tidak hanya soal PCR, sampah elektronik yang menjadi bahan medali emas Olimpiade Tokyo 2020 juga masuk dalam berita populer kumparan. Medali emas ini dibuat menggunakan kandungan emas dalam komponen berbagai barang elektronik bekas. Penggunaan sampah elektronik untuk membuat medali itu, dimaksudkan sebagai upaya menjaga lingkungan dan keberlanjutan (sustainability).
Perhelatan olah raga multi cabang itu, diketahui membagikan total 5.000 keping medali emas, perak, dan perunggu. Dikutip dari Insider, Rabu (4/8), bahan-bahan medali tersebut memanfaatkan kandungan logam dari sampah elektronik, termasuk ponsel.
ADVERTISEMENT
"Medali Olimpiade Tokyo dibuat dari 78.985 ton sampah elektronik, termasuk ponsel bekas," demikian ditulis Insider.
Jumlah sampah elektronik sebanyak itu, setara dengan 10 kali sampah harian yang dikirim dari Jakarta ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat.
Mengutip data Dinas Lingkungan Hidup DKI, sampah harian yang dikirim ke Bantar Gebang pada 2020 lalu sebanyak 7.424 ton per hari. Jumlah itu menurun jika dibandingkan data 2019 yang mencapai 7.702 ton per hari.
Warga beraktivitas di perkampungan kumuh, Kampung Bengek, Jakarta Utara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Hanya 20 Negara Lolos dari Middle Income Trap, Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia saat ini dihadapkan dengan kemungkinan terperosok pada jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika tidak diantisipasi dengan baik, kondisi ini bisa membuat Indonesia sulit untuk naik kelas menjadi negara maju atau berpenghasilan tinggi (high income country).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, jebakan tersebut benar adanya sebab dari 190 negara, hanya kurang dari 20 negara yang berhasil lolos dari middle income trap.
“Indonesia sekarang middle income country. Dan kita tahu di dalam pengalaman lebih dari 190 negara di dunia, mayoritas mereka berhenti di middle income country. Artinya ada fenomena yang disebut middle income trap. Kurang dari 20 negara yang berhasil menembus middle income trap. Ini adalah tantangan nyata,” ujar Sri Mulyani dalam Webinar 50 Tahun Nalar Ajar Terusan Budi: CSIS dan Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045, Rabu (4/8).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu negara bisa lolos dari jebakan middle income country. Salah satu yang paling mendasar adalah soal sumber daya manusia (SDM). Sri Mulyani menyebut, kualitas SDM memiliki andil yang besar agar suatu negara bisa menjadi negara maju.
ADVERTISEMENT