BPKN Beberkan Borok Sektor Perumahan, Tuai Aduan Konsumen Paling Banyak

14 Desember 2020 14:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon pembeli melihat satu perumahan yang ditawarkan dalam salah satu pameran properti di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Calon pembeli melihat satu perumahan yang ditawarkan dalam salah satu pameran properti di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) melaporkan perumahan merupakan sektor yang paling banyak dikomplain oleh konsumen dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Wakil Ketua BPKN, Rolas Sitinjak mengatakan, dalam kurun waktu 2017-2019, pihaknya menerima 2.378 pengaduan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 83 persennya merupakan aduan soal perumahan.
ADVERTISEMENT
“Sebanyak 83 persen atau 1.988 aduan merupakan sektor perumahan. Itu grafiknya. Sektor perumahan 83,6 persen. Berdasarkan pengaduan konsumen, modus pelaku usaha perumahan variatif dan macam-macam,” ujar Rolas dalam Konferensi Pers Virtual Catatan Akhir Tahun BPKN 2020, Senin (14/12).
Sedangkan sepanjang 2020 pihaknya menerima ada 1.276 pengaduan. Sebanyak 39,92 persen dari jumlah tersebut, merupakan aduan tentang sektor perumahan. Adapun permasalahan yang diadukan oleh konsumen beragam. Mulai dari masalah pada fasilitas umum, fasilitas khusus hingga soal fisik bangunan.
“Di sektor perumahan insidennya tentang fasilitas umum, fasilitas khusus, fisik bangunan. Apalagi apartemen, (developer mengeklaim) luas apartemen 57 meter. Rupanya pas diukur di dalamnya hanya 48 meter. Ternyata pelaku usaha mengatakan 57 meter diukur dari luar sementara konsumen mengukur dari dalam. Ini persoalan juga ini,” ujarnya. Selain itu ada juga konsumen yang komplain soal bangunan yang mangkrak hingga masalah legalitas.
Konferensi pers Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) soal Dinamika Transaksi Ekonomi Digital. Foto: Resya Firmansyah/kumparan
Tak hanya itu, Rolas juga menceritakan tentang konsumen di Bekasi yang gagal mendapatkan sertifikat rumah padahal sudah melunasi pembayaran KPR dengan tenor 5-15 tahun. Padahal KPR dilakukan konsumen pada bank pemerintah.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut ternyata pelaku usaha tersebut meminjam uang dari perbankan swasta untuk membangun perumahan. Setelah selesai dibangun, perumahan dijual menggunakan sistem KPR dari bank himbara. Sayangnya sertifikat tersebut tidak ditebus oleh pelaku usaha.
“Ketika sudah lunas, sertifikat tidak ditebus oleh pelaku usaha dari developer. Rupanya beli rumah dari bank pelat merah tidak aman. Bahkan sekarang yang lebih ironis lagi pelaku usaha tersebut pailit. Pertanyaannya di mana negara jika terjadi persoalan seperti itu?” ujarnya.
Rolas pun berkomitmen BPKN akan terus berusaha untuk mendampingi konsumen demi memperoleh haknya. Adapun menurut Rolas dari 1.276 aduan yang masuk sepanjang 2020, sebanyak 600 aduan atau 47,2 persennya telah terselesaikan.
“BPKN komitmen dan akan mengadvokasi pengaduan-pengaduan yang masuk. Artinya konsumen datang ke BPKN dan persoalannya bisa selesai tanpa melalui proses hukum,” tandasnya.
ADVERTISEMENT