BRI Anggap Naiknya Suku Bunga BI Tak Pengaruhi Permintaan KPR

19 November 2022 12:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Corporate Secretary BRI yang baru, Aestika Oryza Gunarto. Foto: BRI
zoom-in-whitePerbesar
Corporate Secretary BRI yang baru, Aestika Oryza Gunarto. Foto: BRI
ADVERTISEMENT
PT Bank Rakyat Indonesia atau BRI tak mempermasalahkan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps atau 0,5 persen menjadi 5,25 persen di November 2022. Selain itu, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility 50 bps di level 4,5 persen dan lending facility 50 bps menjadi 6 persen.
ADVERTISEMENT
Corporate Secretary BRI, Aestika Oryza Gunarto, mengatakan kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan demi meredam inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah.
"BRI melihat kebijakan BI kembali menaikkan suku bunga tersebut sebagai langkah meredam inflasi serta memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya," ujar Aestika kepada kumparan, Sabtu (19/11).
Dari sisi backlog perumahan, Aestika menilai kebutuhan masyarakat masih tinggi untuk memiliki rumah atau hunian. Kebutuhan itu juga tidak menghiraukan tren suku bunga yang naik.
Menurutnya, peluang pertumbuhan KPR didorong sepenuhnya oleh kebijakan loan to value (LTV). Kebijakan ini digunakan untuk menyebut ukuran pinjaman dibandingkan dengan nilai properti yang dijadikan agunan.
"Selain itu dengan adanya diskon PPN dan promo-promo menarik dari developer juga akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan KPR," jelas Aestika.
Ilustrasi KPR untuk milenial. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Berdasarkan data dari Housing and Real Estate Information System (2022) setidaknya ada 12.715.297 yang belum memiliki rumah atau backlog kepemilikan rumah tahun 2021, sedangkan backlog kepemilikan rumah tahun 2020 mencapai 12.759.172.
ADVERTISEMENT
Sementara 84 persen dari backlog didominasi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Apabila dirincikan, golongan MBR yang tidak memiliki rumah sebanyak 10.741.689 dan sisanya adalah golongan Non MBR 1.973.608.
Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri, menemukan korelasi positif antara harga rumah dengan angka backlog kepemilikan. Semakin tinggi harga rumah di suatu tempat menyebabkan angka backlog ikut naik.
"Semakin mahal harga rumah di suatu tempat ya semakin banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah di sana," ujar Mulya dalam acara Rumah Untuk Semua: Mencari Solusi Masyarakat Merdeka Punya Rumah Layak, Senin (15/8).
Lebih lanjut, Mulya menilai, pembangunan rumah subsidi kurang diminati oleh pengembang besar. Sebab, pembangunan rumah subsidi umumnya dilakukan oleh pengembang skala kecil-menengah.
ADVERTISEMENT
Melayani kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sering kali dianggap sebagai sebuah hal yang rentan bagi sebuah usaha. Ia menambahkan, terdapat risiko yang harus dihadapi pengembang, karena MBR memiliki kemungkinan untuk gagal membayar.
"Bahkan setelah disubsidi oleh pemerintah pun kembali minat membangun rumah subsidi sedikit khususnya bank besar," tambah Mulya.
Selain itu, akses permodalan dan regulasi kerap menjadi keluhan bagi pengembang rumah subsidi. Hal ini dikarenakan motif ekonomi menjadi alasan utama minimnya partisipasi pengembang skala besar.
Untuk itu, peran vital pemerintah bersama lembaga perbankan dibutuhkan agar rumah subsidi dapat ditambah jumlahnya. Tidak hanya itu, diperlukan juga lembaga perbankan yang berkomitmen untuk menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi.
"Nah, ini ada dua hal, satu kredit untuk pembangunan atau pengembang dalam bentuk kredit konstruksi dan yang kedua adalah untuk pembelinya," tandas Mulya.
ADVERTISEMENT