Bursa Saham Amerika Anjlok, Terburuk Sejak 1987

17 Maret 2020 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja melihat pergerakan saham dari layar monitor di Wall Street di New York City. Foto: Eisele / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melihat pergerakan saham dari layar monitor di Wall Street di New York City. Foto: Eisele / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street terkoreksi sangat tajam pada perdagangan Senin kemarin. Kinerja bursa saham Amerika bahkan terburuk sejak tahun 1987. Tekanan terjadi karena wabah virus corona hingga keputusan Bank Sentral Amerika atau The Fed yang memangkas suku bunga acuan hingga 0 persen.
ADVERTISEMENT
Mengutip Reuters, Selasa (17/3), indeks S&P 500 anjlok 12 persen. Membuat S&P 500 berada pada posisi terendah sejak Desember 2018. Sementara dari perbandingan persentase penurunan, angka tersebut tercatat sebagai penurunan terburuk setelah periode 'Senin Kelabu' tahun 1987 dan rontoknya saham pada Oktober 1929. Sementara itu, indeks Dow Jones Industrial Average tertekan 2.997,1 poin atau merosot 12,93 persen ke 20.188,52, S&P 500 anjlok 324,89 poin atau 11,98 persen ke 2.386,13. Sedangkan Nasdaq Composite terjun 970,28 poin atau tersungkur 12,32 persen ke 6.904,59.
Akibat dampak virus corona ke perekonomian Amerika dan sentimen pemangkasan suku bunga the Fed, kapitalisasi pasar indeks S&P 500 harus hilang USD 2,69 triliun dalam sehari.
Kemarin, perdagangan di Wall Street harus disetop 15 menit setelah dibuka setelah saham-saham unggulan berguguran seperti saham yang berada di indeks S&P 500 turun 8 persen atau melewati batas penghentian otomatis yakni 7 persen.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi pasar keuangan dan bisnis yang tertekan, Presiden AS Donald Trump berjanji akan melakukan sesuatu.
"Amerika sebagai negara superpower akan mendukung industri seperti maskapai dan lainnya yang terdampak virus corona. Kita akan kembali normal seperti semula," tweet Trump dikutip CNBC.