Buruh Minta Cukai Rokok Kretek Tangan Tak Naik di 2021

20 November 2020 19:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta menunda rencana kenaikan cukai hasil tembakau atau rokok di tahun depan. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memperhatikan nasib para buruh pelinting, dengan tak menaikkan cukai golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Sudarto mengatakan, kenaikan cukai SKT dapat mengancam pemutusan hubungan kerja (PHK) para buruh di sektor tersebut.
Menurut dia, produksi rokok terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun akibat tekanan regulasi, termasuk agenda rutin tahunan kenaikan cukai yang membebani para buruh di industri rokok.
“Kami meminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai SKT sektor padat karya dan segera mengumumkan kebijakan cukai 2021 demi kepastian hukum,” ujar Sudarto dalam diskusi virtual cukai Perlindungan Tenaga Kerja SKT di Tengah Resesi Ekonomi, Jumat (20/11).
Dia berharap pemerintah mendengar aspirasi tersebut, sehingga para buruh masih bisa mencari nafkah tanpa harus berteriak dan turun ke jalan menuntut keberpihakan.
ADVERTISEMENT
Sudarto menjelaskan, saat ini FSP RTMM SPSI menaungi 244.021 anggota, di mana hampir 61 persennya atau sekitar 148.693 anggota bekerja sebagai buruh IHT. Mayoritas buruh berada di segmen SKT yang padat karya.
Warga menjemur tembakau rajangan di kawasan lembah Gunung Sumbing, Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (21/8/2020). Foto: Anis Efizudin/Antara Foto
Adapun jumlah buruh di industri rokok merosot dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah buruh di industri rokok berkurang hingga 60.889 orang.
“Mereka terpaksa kehilangan pekerjaan karena banyak pabrikan tutup dan melakukan rasionalisasi tenaga kerja, akibat regulasi pengendalian konsumsi rokok, yang kenyataannya mengarah kepada mematikan industri hasil tembakau,” jelasnya.
Dia juga menuturkan, pabrik rokok dikhawatirkan akan enggan mempekerjakan pelinting dan lebih memilih menggunakan mesin. Apalagi, produk yang dihasilkan mesin jauh lebih banyak dibandingkan buruh.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembanding, seorang buruh SKT hanya bisa melinting sekitar 360 batang rokok per jam, sementara mesin menghasilkan lebih dari 600.000 batang rokok per jam.
“Sebuah angka yang sangat jomplang,” ujarnya.
Sudarto berharap pemerintah bisa bijaksana terhadap nasib para buruh pelinting dengan tidak menaikkan cukai rokok di tahun depan. Menurutnya, sudah banyak sumbangan yang diberikan IHT kepada negara.
“Mulai dari besarnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi 6 juta orang, cukai yang lebih dari Rp 160 triliun per tahun, hingga nilai eskpor yang melampaui USD 1 miliar. Selayaknya, industri ini juga harus mendapat perlindungan,” pungkasnya.