Butuh 2 Tahun untuk Pulih dari Corona, Pengusaha Minta Cukai Rokok Tak Naik

24 November 2020 9:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait tarif cukai hasil tembakau atau rokok di 2022.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan mengatakan, pihaknya menyayangkan pernyataan Sri Mulyani yang tak memasukkan unsur pelaku usaha atau industri dalam lima pertimbangan pemerintah untuk cukai rokok di tahun depan.
“Lima dimensi yang dikemukakan Bu Sri Mulyani tidak menyebutkan pelaku industri sebagai dimensi penting dalam rencana membuat kebijakan cukai hasil tembakau 2021,” ujar Henry dalam keterangannya, Selasa (24/11).
Henry meminta pemerintah memperhatikan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dalam penyusunan rencana kebijakan cukai hasil tembakau di 2021. Dalam Pasal 5 Ayat (4) UU tentang Cukai disebutkan, dalam membuat alternatif kebijakan mengoptimalkan target penerimaan, menteri yang bersangkutan harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.
ADVERTISEMENT
“Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada RAPBN dan alternatif kebijakan menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, seharusnya dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, dan disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan," lanjutnya.
Tarif kenaikan cukai rokok di tahun depan diperkirakan antara 13 persen hingga 20 persen. Menurutnya, kenaikan cukai rokok yang terlalu tinggi itu dinilai tidak tepat di tengah pelemahan kinerja industri rokok tahun ini. Henry khawatir, kenaikan cukai rokok yang eksesif justru bisa semakin menggerus penerimaan negara.
"Kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2020 yang sangat tinggi dan pelemahan daya beli akibat pandemi Covid-19 salah satu berdampak pada sektor industri," terangnya.
Petani memetik daun tembakau saat panen di persawahan Dusun Welar, Toroh, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (7/9/2020). Foto: Yusuf Nugroho/Antara Foto
Dia melanjutkan, rencana pemerintah untuk menaikkan cukai rokok juga belum pernah didiskusikan dengan pelaku usaha. Padahal, kata Henry, industri rokok butuh waktu minimal dia tahun untuk pulih.
ADVERTISEMENT
“Perkumpulan GAPPRI berharap industri hasil tembakau diberikan kesempatan untuk melakukan pemulihan, paling sedikit dua tahun,” jelasnya.
Selain itu, Henry juga berharap pemerintah mendengar aspirasi pelaku usaha, sehingga pertimbangan cukai rokok bisa objektif, bijak, dan harmonis. Apalagi industri rokok mendapat dua kali hantaman tahun ini, yakni rata-rata kenaikan cukai 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen serta pandemi COVID-19.
“Salah satu aspirasi pelaku usaha yang patut dipertimbangkan adalah tidak menaikkan cukai hasil tembakau rokok setelah tahun ini,” tegas Henry.
Menurut dia, tidak adanya kenaikan cukai akan mempercepat pemulihan bagi industri rokok. Percepatan pemulihan juga selaras dengan program pemerintah yang tengah fokus melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi.
Warga menjemur tembakau rajangan di kawasan lembah Gunung Sumbing, Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (21/8/2020). Foto: Anis Efizudin/Antara Foto
Henry pun mengingatkan pemerintah, kenaikan cukai 2021 di tengah pandemi dan pelemahan ekonomi justru berdampak negatif bagi semua stakeholders. Antara lain terhadap penerimaan negara, serapan bahan baku, petani tembakau dan cengkeh, rasionalisasi tenaga kerja, serta semakin maraknya rokok ilegal.
ADVERTISEMENT
“Pemulihan ekonomi yang semakin cepat, akan menyelamatkan ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja di sektor industri hasil tembakau,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan penyebab molornya pengumuman kenaikan tarif cukai rokok di 2021. Menurutnya, pemerintah mempertimbangkan sedikitnya lima aspek dalam membuat kebijakan cukai rokok.
Pertama mengenai prevalensi merokok pada anak-anak, kedua mengenai tenaga kerja, ketiga adalah petani, keempat rokok ilegal, dan kelima adalah penerimaan negara.
“Bayangkan policy maker melihat lima variabel dengan satu instrumen, lima goals satu instrumen,” ujar Sri Mulyani dalam kuliah umum FEB UI secara virtual, Rabu (17/11).