Butuh Rp 4.000 T Atasi Ancaman Iklim, Sri Mulyani Akui Tak Bisa Hanya dari APBN

6 September 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (28/8/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (28/8/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan kebutuhan pendanaan USD 281 miliar atau Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030, tidak bisa hanya mengandalkan APBN.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani menjelaskan, kebutuhan anggaran Rp 4.000 triliun untuk mengatasi perubahan iklim yang mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia itu, bahkan lebih besar dari anggaran belanja negara setiap tahunnya.
"Mungkin kita membutuhkan USD 281 miliar, saya akan menerjemahkannya menjadi Rp 4.000 triliun. Ini sekitar 1,1 dari total anggaran belanja Indonesia setiap tahunnya," ungkap Sri Mulyani saat Indonesia International Sustainability Forum 2024, Jumat (6/9).
Menkeu mengakui pendanaan itu tidak bisa hanya disokong oleh APBN saja. Dengan begitu, dia mengajak pihak swasta turut serta berpatisipasi dalam upaya pencegahan ancaman perubahan iklim, tentunya didukung oleh berbagai insentif dari pemerintah.
"Tentu saja fiskal atau anggaran publik tidak bisa menjadi satu-satunya sumber, meskipun kami mencoba untuk terus melakukan tidak hanya dalam hal alokasi anggaran, tetapi menggunakan instrumen fiskal kami, seperti tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk, untuk benar-benar menciptakan aturan katalis untuk sektor swasta," jelas Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani juga menyoroti ada banyak instrumen keuangan untuk menekan emisi karbon. Pemerintah, kata dia, sudah menerbitkan instrumen pembiayaan seperti sukuk, green sukuk, atau blue bonds USD 7,07 miliar antara tahun 2018 hingga 2023.
Pendanaan proyek ramah lingkungan selain dari sisi fiskal juga didukung oleh penerbitan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang mengatur mekanisme perdagangan karbon dan mekanisme non perdagangan.
"Mekanisme perdagangan terdiri dari sistem perdagangan emisi dan mekanisme penggantian kerugian, sedangkan mekanisme non-perdagangan terdiri dari pungutan karbon dan pembayaran berbasis hasil. Semua mekanisme ini sudah berjalan," tutur Sri Mulyani.
Mekanisme perdagangan karbon ini diharapkan bisa melibatkan negara lain alias lintas batas (crossborder). Hal ini, kata Menkeu, akan diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menciptakan turunan aturan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
ADVERTISEMENT
"Kami juga sedang mempersiapkan peraturan teknis untuk menerapkan perdagangan karbon lintas batas, karena seperti yang saya katakan, karbon yang diemisikan dan mereka tidak memiliki KTP," kata Sri Mulyani.
Meskipun pemerintah memainkan peran sangat penting dari sisi fiskal dan keuangan, Sri Mulyani menilai sektor swasta sebenarnya perlu berperan lebih banyak dan signifikan dalam pendanaan ancaman iklim.
"Sektor swasta dalam hal ini, sesuai dengan Perjanjian Paris, harus terus menggabungkan upaya mereka agar dapat berpartisipasi dalam pendanaan iklim. Mereka dapat terlibat melalui pengurangan emisi karbon dengan mengadopsi ESG, praktik keberlanjutan, dan juga membiayai teknologi hijau," ujar Sri Mulyani.
Tidak hanya itu, dia mengatakan sektor swasta juga dapat memastikan bahwa rantai pasok dan sistem produksi sesuai dengan komitmen rendah karbon, termasuk mobilisasi modal dalam upaya transisi energi.
ADVERTISEMENT
"Salah satu contoh kasusnya, kami sebenarnya sedang mendiskusikan dengan sangat detail bagaimana kami akan menghentikan beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara yang dimiliki oleh sektor swasta," tutur Sri Mulyani.