Candu Cashback dan Diskon di Industri Digital

6 Desember 2019 14:36 WIB
comment
79
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aplikasi GOJEK dan Grab. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aplikasi GOJEK dan Grab. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
Nur Aeni (24) terlihat sibuk dengan gadget-nya. Bukan membalas pesan whatsapp, dia sedang membandingkan tarif dua aplikasi startup transportasi online, Gojek dan Grab. Kemudian dia memilih salah satunya yang mengenakan tarif paling murah, karena memberikan diskon.
"Mencari yang lain, yang menawarkan harga yang lebih terjangkau karena banyak promo," ujar perempuan asal Bandung itu ketika ditanyai kumparan.
Promo berupa cashback dan diskon kini telah menjadi candu. Strategi itu ditebar layanan transportasi online atau aplikasi e-commerce yang selalu ditunggu konsumen.
Kebanyakan yang menggunakan ojol atau taksi online misalnya, pasti menginstal dua aplikasi layanan tersebut di telepon pintarnya.
Hal yang sama juga dilakukan Niam (23), seorang wiraswasta yang berdomisili di Surabaya. Dia mengaku akan memilih layanan transportasi online atau e-commerce yang memberikan diskon atau cashback. Namun, dia mengaku tetap memperhatikan kualitas dan layanannya.
"Loyalitas saya tergantung tingkat kualitas, kepercayaan, dan banyaknya promo yang buat murah," ujarnya.
Ilustrasi Tokopedia. Foto: Tokopedia
Soal tak ada konsumen yang loyal, itu memang terbukti dari reportase yang dilakukan kumparan. Dari 10 orang pengguna transportasi online dan e-commerce yang ditemui di lapangan, mereka memiliki dua layanan digital e-commerce dan transportasi online berbeda. Jika ada yang memberikan harga lebih miring, maka itu yang akan dipilih dan layanan lainnya ditinggalkan.
Hal itu meneguhkan polling sederhana yang dilakukan kumparan secara online. Kami memberikan pertanyaan "Kalau enggak ada promo, seperti cash-back atau free ongkir, apa yang kamu lakukan?".
Hasilnya, dari tiap 10 orang, sembilan di antaranya menyatakan akan memilih mencari promo di aplikasi lain. Sisanya memilih tetap setia di aplikasi yang sama atau memilih langkah ekstrem, yakni un-install aplikasi tersebut.
Promo atau diskon menjadi senjata bagi perusahaan digital untuk menggaet pasar. Mengejar kenaikan gross merchandise volume (GMV) dengan memberi subsidi pasar dengan cara bakar uang, masih menjadi jurus andalan perusahaan digital startup.
Ilustrasi Bukalapak. Foto: Shutter Stock
Direktur Riset pada Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menyatakan era bakar uang sudah saatnya dihentikan. Perusahaan digital yang menyandang status unicorn, seharusnya sudah lebih jeli dalam mengedepankan strategi inovasi.
Apalagi, kondisi ekonomi global di tahun depan diprediksi akan semakin bergejolak di tengah dampak perang dagang yang tak kunjung reda.
Jika tidak dibarengi kebijakan tepat, Indonesia bisa terkena dampaknya. Perlu pendekatan dan inovasi dari para unicorn agar konsumen tetap loyal.
"Tahun depan memang besar kemungkinan ekonomi global melambat. Investor startup juga diperkirakan akan mengurangi bakar uang," ujar piter.
Menurut Piter, investor tidak akan selamanya bakar uang. Apalagi investor unicorn di Indonesia sudah cukup lama bakar uangnya. Kecuali, bila nanti ada unicorn baru dengan produk-produk baru, investor akan kembali bakar uang untuk promo.
"Mereka investor profesional. Tujuan mereka tetap laba. Cuma cara mencari laba nya yang tidak lagi sama dengan pendekatan bisnis konvensional dan mengambil lebih banyak lagi risiko. Unicorn sejatinya adalah bisnis inovasi, terlepas dari kondisi ekonomi," tegas Piter.
Profit Zona Bisnis. Foto: Rangga Sanjaya/kumparan