CORE: Dana Pemulihan Ekonomi RI Terus Naik, BI Diminta Cetak Uang

3 Juni 2020 20:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wilayah perkantoran sepi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wilayah perkantoran sepi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
ADVERTISEMENT
Pemerintah memutuskan untuk menambah anggaran biaya stimulus ekonomi. Total anggaran sebesar Rp 677 triliun digelontorkan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional dari dampak virus corona, naik dari sebelumnya Rp 641,17 triliun.
ADVERTISEMENT
Anggaran tersebut juga untuk insentif perpajakan, bantuan sosial, Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN, subsidi bunga khususnya untuk UMKM, hingga penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit.
Anggaran tersebut telah ditingkatkan dua kali dibanding saat pertama kali diajukan oleh pemerintah. Semula pada awal April 2020, pemerintah menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun, kemudian mengalami penyesuaian pada pertengahan Mei menjadi Rp 405 triliun, dan pada akhir Mei rekapitulasi dana untuk pemulihan ekonomi nasional menjadi Rp 641 triliun.
“Meskipun telah mengalami peningkatan yang begitu besar, CORE Indonesia berpandangan bahwa peningkatan anggaran yang diajukan untuk pemulihan ekonomi nasional masih jauh dari ideal. Hal ini didasarkan pada beberapa catatan,” ujar Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah dalam keterangannya, Rabu (3/6).
ADVERTISEMENT
Pertama, kebutuhan anggaran kesehatan yang lebih besar untuk penanggulangan wabah. CORE Indonesia mendorong pemerintah meningkatkan anggaran kesehatan setidaknya sampai dengan Rp 100 triliun, khusus untuk kebutuhan alat kesehatan seperti ventilator hingga test kit.
Pekerja menyelesaikan perakitan akhir mesin ventilator portabel bernama Ventilator Indonesia atau Vent-I di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Kedua, asumsi tambahan penduduk miskin yang berpotensi jauh lebih besar. Pemerintah menganggarkan sebanyak Rp 172 triliun untuk rumah tangga miskin, rentan, dan terdampak COVID-19, di mana menurut hitungan pemerintah dengan skema sangat berat, jumlah penduduk miskin akan bertambah hingga 4,86 juta orang.
Dengan skenario sangat berat, di mana wabah COVID-19 diasumsikan berlangsung hingga akhir tahun dan kebijakan PSBB diberlakukan secara lebih luas baik di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa, potensi pertambahan penduduk miskin bisa mencapai 12,2 juta orang.
ADVERTISEMENT
“Dengan asumsi penambahan jumlah penduduk miskin mencapai 12,2 juta orang, CORE Indonesia memperkirakan kebutuhan bantuan untuk masyarakat miskin dalam skenario sangat berat bisa mencapai Rp 234 triliun,” jelasnya.
Cetak Uang
Menurut Piter, kebijakan tambahan diperlukan untuk pemenuhan likuiditas di dalam negeri, yaitu dengan kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral. Saat ini diskursus mengenai kebijakan penciptaan uang selalu dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan sama yang pernah dilakukan pada periode 1960-1966.
“CORE Indonesia berpandangan paling tidak ada dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini,” kata dia.
Pertama, tambahan likuiditas diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan stimulus. Umumnya pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang.
Piter Abdullah. Foto: Facebook/ @Piter Abdullah
Namun di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sangat sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutup kebutuhan pembiayaan. Pasalnya, investor asing yang mempunyai persentase kepemilikan terbesar dalam surat utang pemerintah mengurangi porsi kepemilikannya, sementara bank masih menghadapi permasalahan likuiditas akibat tekanan NPL dan upaya restrukturisasi kredit.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, investor individu cenderung melakukan precautionary savings yang lazim terjadi di tengah pandemi ataupun tekanan ekonomi.
Dengan asumsi serapan SBN sampai dengan akhir Mei 2020 mencapai Rp 120 triliun, tambahan pinjaman pemerintah yang akan mencapai Rp 148 triliun, dan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp 2.426 triliun, maka pada periode Juni-Desember 2020 diperlukan tambahan likuiditas hingga Rp 1.800 triliun di surat utang pemerintah.
Hal ini menjadi tantangan karena dalam lima tahun terakhir serapan maksimal pasar pada instrumen surat utang pemerintah hanya mencapai Rp 900 triliun, yang terjadi pada tahun 2019. Menurut Piter, di sinilah kebutuhan likuiditas tambahan melalui kebijakan cetak uang diperlukan.
Posisi jumlah uang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya ada di kisaran 6 persen. Padahal di Thailand dan bahkan Vietnam, M0/PDB bisa mencapai 14 persen.
ADVERTISEMENT
“Tambahan uang kartal dengan kebijakan cetak uang baru sebesar Rp 1.000 triliun diperkirakan akan meningkatkan M0/PDB dari 6 persen menjadi 15 persen atau kurang lebih sama dengan Thailand dan Vietnam,” jelasnya.
Sementara rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian sempit (M1) dalam lima tahun terakhir (2015-2019) sangat rendah, yaitu sekitar 11 persen (yoy). Jauh di bawah pertumbuhan M1 semasa krisis ekonomi tahun 1998 yang mencapai 29 persen (yoy).
Seorang Petugas Teller PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. sedang menghitung uang kertas di Kantor Cabang Harmoni, Jakarta, Senin (18/5). Foto: Dok. BTN
Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada tahun 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200 persen (yoy), sehingga menyebabkan terjadinya hiperinflasi.
Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi, jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Saat ini, rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38 persen. Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125 persen, 124 persen, dan 158 persen. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200 persen atau Jepang yang di atas 200 persen.
“Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi,” tambahnya.
Ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini.
Penjual jasa penukaran uang baru melayani konsumen di Kota Madiun, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
Pertama, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus. Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik. Namun secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap.
Ketiga, situasi politik saat ini jauh lebih kondusif, dan tingkat inflasi juga relatif rendah. Tingkat inflasi pada 2020 diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, inflasi secara year-to-date per Mei 2020 hanya 0,90 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 1,48 persen.
“Dengan inflasi yang tahun ini diprediksi lebih rendah, pemerintah semestinya dapat lebih leluasa untuk melakukan kebijakan yang lebih akomodatif dari sisi moneter, termasuk di antaranya kebijakan mencetak uang,” jelasnya.
ADVERTISEMENT