Data Kemenkeu: Rupiah Terdepresiasi Paling Parah di ASEAN Pada 2018

3 Januari 2019 12:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mata uang rupiah mengalami depresiasi paling parah sepanjang tahun 2018 ini jika dibandingkan dengan mata uang lain di kawasan ASEAN.
ADVERTISEMENT
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, mata uang rupiah mengalami depresiasi sebesar 6,89 persen. Sementara, mata uang negara ASEAN lainnya seperti di Filipina terdepresiasi sebesar 5,24 persen, Malaysia sebesar 2,15 persen, Singapura sebesar 1,95 persen, Thailand sebesar 0,69 persen, dan Vietnam 2,10 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi nilai tukar rupiah memang meleset dari yang diasumsikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
"Nilai tukar yang mengalami deviasi cukup besar dari Rp 13.400 ke Rp 14.247 per dolar AS," katanya dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2018 di Gedung Kemenkeu Jakarta, Rabu (2/1).
Terkait hal itu, Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira Adhinegara menerangkan bahwa terperosoknya rupiah itu tak lepas dari fenomena super dolar yang menjadikan mata uang Paman Sam itu perkasa terhadap seluruh mata uang uang terutama di negara berkembang.
ADVERTISEMENT
"Fenomena super dolar ini kan memang didorong perbaikan data-data ekonomi AS sepanjang 2018, kenaikan suku bunga The Fed dan imbasnya kena lah kemudian ke Indonesia," katanya dihubungi kumparan.
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Ia melanjutkan, Indonesia juga termasuk negara fragile five yang merupakan negara berkembang yang dinilai terlalu bergantung pada investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Negara lain yang masuk kategori itu adalah India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki.
Indonesia rentan terhadap gejolak global yang mungkin terjadi. Termasuk saat perang dagang AS dan China di tahun 2018 ini. "Perang dagang imbasnya terhadap ekspor di Indonesia yang melemah, dan bukan cuma AS dengan China tapi juga berdampak sama India (karena sama-sama fragile five)," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Pengaruh harga minyak, kata Bhima, juga turut menyumbang melemahnya mata uang rupiah. Singkatnya, saat harga minyak mentah tinggi maka kebutuhan dolar AS akan kian meningkat karena minyak masih banyak yang impor.
"Pertamina dan PLN itu pasti kebutuhan valasnya akan semakin banyak, sehingga jual rupiah dan membeli dolar makanya ini akan ada efeknya terhadap nilai tukar rupiah," tegasnya.
Lebih lanjut, Bhima menekankan depresiasi rupiah yang terjadi ini tak bisa melulu menyalahkan faktor internal. Namun, perlu juga berkaca pada faktor domestik yaitu berkaitan dengan net ekspor yang belum optimal, defisit transaksi berjalan yang sampai tembus 3 persen, hingga suplai valas yang kian ketat akibat kebutuhan dolar masih tinggi.
"Nah makanya kalau tadi performa rupiah salah satu yang terburuk betul, salah satu terburuk karena tidak bisa menyalahkan faktor eksternal juga. Memang betul faktor eksternal tapi di domestik ini yang mesti kita harus bercermin. Ngaca bahwa ada struktur ekonomi kita yang memang mesti diperbaiki," tandasnya.
ADVERTISEMENT