Defisit APBN 2021 Diperkecil, Ini Risiko yang Akan Dihadapi Indonesia

2 Oktober 2020 16:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rupiah Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rupiah Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Pemerintah menargetkan defisit APBN 2021 sebesar Rp 1.006,37 triliun atau 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target ini mengecil dari proyeksi tahun ini sebesar 6,34 persen dari PDB.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan untuk memperkecil defisit tentu memiliki risiko. Utamanya peningkatan utang.
Rasio utang ditargetkan sebesar 41,09 persen terhadap PDB di tahun depan. Ini juga membengkak dari tahun ini yang dipatok 37,6 persen dari PDB. Adapun pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp 1.177,35 triliun di 2021.
Sementara itu, total utang pemerintah pusat hingga akhir Agustus 2020 sebesar Rp 5.594,93 triliun, naik 19,5 persen dari periode yang sama tahun lalu. Posisi rasio utang Indonesia itu mencapai 34,53 persen dari PDB.
“Bukan tidak ada risiko, risikonya tetap ada. Dengan defisit melebar di 2021, walaupun sudah konsolidasi dibandingkan 2020, primary balance tetap dalam. Tidak heran rasio utang naik dari 37,6 persen ke 41,09 persen prediksinya,” kata Febrio dalam konferensi pers Dialogue KiTa, Jumat (2/10).
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Febrio memastikan pemerintah akan meningkatkan investasi sebagai motor penggerak ekonomi di tahun depan, sekaligus sebagai langkah untuk menjaga rasio utang tersebut. Salah satunya melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini tengah dikebut penyelesaiannya.
Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. Foto: facebook
Omnibus Law Cipta Kerja dinilai bisa memberikan kepastian bagi dunia usaha dan mendatangkan investasi ke dalam negeri.
"Kita harus reformasi dari 2020 ke 2021, termasuk bagaimana investasi harus positif di 2021," jelasnya.
Selama kuartal II 2020, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami kontraksi atau minus 8,61 persen (yoy). Padahal di kuartal II 2019, investasi tumbuh 4,55 persen (yoy).
Di kuartal III tahun ini, pemerintah memproyeksi investasi masih akan berada di zona negatif antara 8,5 persen hingga 6,6 persen (yoy).
ADVERTISEMENT
Apabila pertumbuhan investasi masih negatif sampai tahun depan, Febrio menyebut, tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia akan sangat besar. Akselerasi pemulihan ekonomi pun menjadi sulit tercapai.
“Kalau (investasi) tetap negatif, berat sekali," tambahnya.