Defisit BPJS Kesehatan Akibat Manajemen Buruk, Mestinya Tak Dibebankan ke Rakyat

20 Mei 2020 19:29 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga mengisi formulir Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Jakarta Pusat. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengisi formulir Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Jakarta Pusat. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Naiknya iuran BPJS Kesehatan banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang sedang mengalami kesulitan kelesuan ekonomi di tengah pandemi corona mesti menangguh beban kenaikan BPJS.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, pemerintah mengklaim cara yang bisa ditempuh untuk menambal defisit BPJS adalah menaikkan iuran yang dilakukan secara bertahap Juli 2020 untik kelas I dan II sedangkan kelas III pada Januari 2021.
Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Dewi Anggraeni menyampaikan, defisit BPJS Kesehatan sebetulnya terjadi akibat manajemen yang buruk. Salah satunya, ditunjukkan dengan adanya fraud yang menyebabkan kebocoran anggaran.
ICW pada tahun 2017, kata dia, pernah melakukan kajian atas potensi fraud yang terjadi di BPJS Kesehatan di 15 kota di Indonesia.
Dari kajian tersebut, ditemukan setidaknya 49 dugaan fraud, baik yang terjadi pada level peserta, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FTKP) atau puskesmas, maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FTKL) atau rumah sakit.
ADVERTISEMENT
"Yang harus diselesaian kesalahan-kesalahan itu dulu, tata kelola, fraud, itu yang harus diselesaikan lebih dahulu, sebelum menaikkan iuran," ujar Dewi dalam diskusi online, Rabu (20/5).
Sejumlah warga mengantre di kantor Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Cabang Medan, Sumatera Utara. Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Dewi melanjutkan, berbagai dugaan fraud itu mulai dari alat kesehatan, obat, hingga tindakan medis yang bisa dimanipulasi.
"Misalkan, alkesnya tidak digunakan tapi dimasukkan ke dalam tagihan pasien yang seharusnya seperti itu akan dikroscek oleh teman-teman verifikasi dari BPJS Kesehatan," kata dia.
Jika tata kelola BPJS Kesehatan dapat dilakukan dengan baik utamanya di level internal serta mitra, menurutnya, seharusnya kenaikan iuran tidak perlu dilakukan.
Kendati ia tak menyangkal iuran BPJS Kesehatan yang saat ini diberlakukan pemerintah memang masih rendah. Sehingga bisa menaikkan iuran, namun tidak dalam kondisi pandemi yang masih sulit saat ini.
ADVERTISEMENT
"Tapi tidak di saat-saat seperti ini (COVID-19). Kenaikan iuran itu juga kalau menurut ICW adalah langkah terakhir," tegasnya.
Senada, Herni Ramdlaningrum dari Perkumpulan PRAKARSA juga menegaskan, langkah pemerintah menaikkan iuran BPJS untuk menambal defisit tidak tepat untuk saat ini. Sebab, dinilai memberatkan masyarakat yang sedang kesulitan.
“Apalagi (iuran BPJS Kesehatan naik) dilakukan di masa pandemi, semakin tidak relevan,” ucap Herni dalam acara yang sama.
Masalah lain yang timbul apabila iuran BPJS kesehatan dinaikkan, menurut Herni, bisa bertentangan dengan semangat gotong-royong.
“Target perluasan kepesertaan akan sulit tercapai karena akan ada banyak masyarakat yang melepas status kepesertaannya karena terbebani besaran iuran. Jumlah masyarakat yang akan memilihi turun kelas juga akan meningkat karena alasan yang sama,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!