Demi Pertamina dan Industri Hulu Migas, Menteri ESDM Tak Turunkan Harga BBM

4 Mei 2020 20:37 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif hadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (27/1).  Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif hadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (27/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki awal bulan ini, Kementerian ESDM masih belum mau menurunkan harga BBM meski harga minyak dunia sudah anjlok ke level USD 20 per barel. Tingginya volatilitas harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jadi alasan utama.
ADVERTISEMENT
Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI secara daring, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, dengan turunnya harga minyak dunia ini, salah satu variabel formula harga jual eceran BBM yaitu MOPS (Mean Of Platts Singapore) menjadi lebih rendah.
MOPS terdiri dari harga minyak mentah ditambah ongkos produksi menjadi BBM hingga disalurkan ke tangki-tangki sebelum dijual ke SPBU. Saat ini, kata Arifin, harga BBM berdasarkan MOPS bahkan lebih rendah dari harga minyak mentah.
"Sekarang yang terjadi, MOPS ini di bawah harga crude. Jadi memang kalau diberlakukan (harga BBM diturunkan), pasti akan meluncur ke bawah. Sesuatu yang anomali makanya yang harus kita balance konstanta untuk stabilkan BBM," kata dia, Senin (4/5).
Petugas mengisi bahan bakar pertamax di SPBU Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
Jika penurunan harga BBM dilakukan saat ini, badan usaha seperti PT Pertamina (Persero) akan sangat terdampak. Biaya produksi BBM di kilang Pertamina tinggi karena teknologinya sudah tua, lebih mahal dibanding BBM impor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penurunan harga minyak dunia juga membuat harga minyak mentah di sektor hulu migas nasional sangat terdampak. Sedangkan Pertamina sebagai perusahaan negara tak bisa langsung menutup begitu saja sumur-sumur minyak tersebut karena banyak sumur tua sehingga membutuhkan biaya besar untuk menutup dan membukanya kembali.
Sulitnya Pertamina menutup sumur-sumur ini pernah disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati ke Komisi VI DPR beberapa waktu lalu. Saat itu, Nicke curhat bahwa sebagai pebisnis, bisa saja Pertamina mengambil keputusan menutup sumur hulu migas dan memenuhi kebutuhan BBM dengan impor sebanyak-banyaknya dari luar negeri.
Akan tetapi, kebijakan tersebut tak bisa begitu saja diambil sebab sebagai BUMN, Pertamina harus memperhatikan faktor lain. Jika sumur-sumur minya ditutup, berpotensi menimbulkan PHK besar di sektor migas.
ADVERTISEMENT
Untuk faktor eksternal, Arifin Tasrif mengatakan, pihaknya terus memantau perkembangan kebijakan negara OPEC dan Non-OPEC yang bakal memangkas produksi minyak dunia pada bulan ini dan Juni mendatang 9,7 juta barel per hari. Lalu pemotongan sebesar 7,7 juta barel per hari pada Juli-Desember 2020 dan 5,8 juta barel per hari pada Januari 2021-April 2022.
"Jadi ini satu hal yang dipertimbangkan bagaimana bisa menyikapi perkembangan harga minyak internasional karena periode Mei ini adalah periode OPEC sudah memberlakukan pemotongan produksi hariannya kurang lebih 10 juta barel per hari," ujar Arifin.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona