Di Depan MK, Sri Mulyani Jelaskan Soal Urgensi Pelebaran Defisit APBN

8 Oktober 2020 16:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Foto: HO-Kementerian Keuangan/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Foto: HO-Kementerian Keuangan/Antara
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi di atas 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau melebihi batasan yang diatur dalam Undang-Undang (UU). Keputusan untuk memperlebar defisit APBN ini telah tercantum dalam UU No 2 Tahun 2020 yang kini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa keputusan pemerintah untuk memperlebar defisit APBN bertujuan demi menambah anggaran belanja untuk menanggulangi dampak pandemi COVID-19. Sri Mulyani menampik bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah.
“Kebijakan melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3 persen tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya hal ini ditunjukkan untuk memberikan kemampuan pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat COVID-19 dan efek domino yang ditimbulkannya,” ungkap Sri Mulyani dalam sidang pengujian UU 2/2020 tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang, Kamis (8/10).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat konferensi pers kinerja APBN KiTa per Oktober 2019. Foto: Nicha Muslimawati
Adapun untuk tahun ini defisit APBN diproyeksikan sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB. Sementara pada 2021 defisit ditargetkan sebesar Rp 1.006,37 triliun atau 5,7 persen dari PDB.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani mengamini bahwa pemerintah bisa lebih fleksibel memperlebar defisit APBN tidak lain karena ditetapkannya UU 2/2020. Sebab jika mengacu pada peraturan lama, defisit sudah barang tentu tidak bisa melebihi 3 persen.
Padahal menurut Sri Mulyani kondisi saat itu sudah cukup genting. Pandemi menyebabkan penurunan signifikan pada penerimaan pendapatan negara baik dari pajak maupun bukan pajak. Sementara itu kebutuhan belanja negara justru mengalami kenaikan sebab pemerintah harus menangani masalah kesehatan, melindungi masyarakat, hingga memulihkan ekonomi.
“Dengan demikian defisit APBN menjadi suatu konsekuensi dari keharusan hadirnya pemerintah,” tegasnya.
Tak hanya Indonesia, banyak negara di dunia saat ini juga mengalami pelebaran defisit. Bahkan menurut Sri Mulyani, pelebaran mereka jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Misalnya, Inggris mengalami defisit anggaran minus 13,8 persen, Spanyol defisit minus 11,5 persen, Prancis minus 11,4 persen, Malaysia minus 6,5 persen, Singapura minus 13,5 persen dan Filipina minus 7,6 persen.
ADVERTISEMENT
Namun, meski pemerintah kini bisa fleksibel memperlebar defisit, Sri Mulyani menegaskan bahwa kemampuan tersebut tetap dilakukan secara terukur dan hati-hati serta tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan transparansi.
Untuk itulah pada lampiran UU 2/2020 diberikan pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit. Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3 persen dari PDB hanya berlaku paling lama hingga tahun anggaran 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka defisit maksimal 60 persen dari PDB sesuai dengan undang-undang keuangan negara.