Kumplus- Candu Diskon Bisnis Digital- COVER Zona Bisnis

Dilema Investor: Bakar Uang atau Disalip Pesaing

6 Desember 2019 15:18 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cashback dompet digital OVO. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cashback dompet digital OVO. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Peringatan soal perusahaan digital harus berfokus untuk mendapatkan untung keluar dari CEO SoftBank, Masayoshi Son. Pernyataan tersebut dipicu masalah yang terjadi di WeWork, startup penyedia layanan CoWorking Space (ruang kerja bersama), yang mendapatkan suntikan dana dari SoftBank.
WeWork, perusahaan rintisan berbasis di New York, Amerika Serikat, ini dilaporkan merugi USD 900 juta pada paruh pertama 2019 dan beban utang kewajiban sewa hingga USD 47 miliar.
Beredarnya data keuangan itu membuat nilai valuasi WeWork anjlok dari USD 47 miliar atau Rp 665,7 triliun, menjadi hanya tersisa USD 20 miliar atau setara Rp 283,3 triliun.
SoftBank dikenal sebagai perusahaan yang agresif membakar uang. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, perusahaan ini disebut sudah membakar uang hingga USD 100 miliar atau sekitar Rp 1.413 triliun dana investasi. Termasuk di startup di Indonesia seperti Moka dan Tokopedia.
Kondisi yang dialami SoftBank menjadi alarm bagi investor dalam negeri yang juga menanamkan modalnya untuk startup. Para pemodal ventura mulai mengingatkan startup yang mendapatkan suntikan modal tak hanya mengejar pertumbuhan, tapi juga keuntungan.
"Setiap kali terjadi transaksi, cost-nya harus direduksi pelan-pelan," kata Managing Partner of Ideosoure Venture Capital, Andi Boediman.
Aplikasi GOJEK dan Grab. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
Menurut dia, perusahaan digital harus memperhitungkan setiap dana yang dikeluarkan untuk menggaet pasar, perlahan harus dikurangi untuk mendapatkan nilai impas, bahkan bisa untung. Sebab, setiap investor pasti bertujuan mendapatkan profit.
Memberikan subsidi untuk menjaring pasar dengan cara bakar uang menjadi strategi bagi perusahaan rintisan. Berbagai promo seperti diskon dan cash back diberikan agar pelanggan terbiasa menggunakan layanan aplikasinya.
CEO PT Global Digital Prima (GDP) Venture, Martin Hartono, menilai bakar uang memang tak bisa dihindari dalam bisnis digital. Namun, harus jelas hitungan sampai kapan bakar uang bisa dilakukan.
Menurut dia, GDP akan sangat selektif menggelontorkan dana untuk startup agar bakar uang tidak menjadi strategi satu-satunya untuk mengejar pertumbuhan.
"Kalau kelamaan bakar duit dan gak pernah bisa untung, lama-lama investornya juga begah," ujarnya.
Menurut dia, pola bakar uang tetap harus memiliki perhitungan bisnis. Dari sudut pandang pemodal ventura seperti dirinya, startup harus bisa mempertimbangkan soal pertumbuhan bisnis yang juga seimbang dengan profitnya yang meningkat.
"Sampai suatu hari bisa break event point (BEP) dan bisa untung. Kami maunya perusahan yang untung dong,” ujarnya.
Sementara itu, Co-Founder and Managing Partner of East Ventures, Willson Cuaca, mengatakan persoalan yang terjadi di WeWork dan SoftBank sangat berbeda dengan kondisi bisnis startup di Indonesia.
"Persoalan WeWork jauh berbeda dengan startup di Indonesia. Sejauh ini startup di Indonesia masih positif dan berkembang," ujarnya.
Infografik Gemerlap Ekonomi Digital di Indonesia. Foto: Nadia Wijaya /kumparan
Menurut Willson, bakar uang tak bisa dihindari dalam bisnis digital. Dalam bisnis digital, kata dia, biaya pengeluaran untuk merebut pangsa pasar merupakan hal mutlak. Pangsa pasar, menjadi aset berharga dalam bisnis startup.
"Itu sebenarnya bukan bakar uang. Memang harus spend. Berbeda dengan bisnis konvensional yang spend sedikit, yang dikejar aset fisik, lalu mengejar titik impas atau bahkan untung," katanya.
Dalam bisnis digital, Willson melanjutkan, jika strategi yang digunakan saat ini mengurangi pertumbuhan dan fokus mengejar titik impas, maka risikonya akan ada pemain baru yang melakukan bakar uang dan menyalip.
"Karena itu harus dapat market share, makanya harus spend. Itu bakar uang, tapi tidak sembarangan karena ada polanya. TIdak bisa generalisasi. Risiko ada kompetitor datang nyalip," katanya.
Menurut Willson, East Ventures yang hingga saat ini sudah berinvestasi di 166 startup, memiliki perhitungan bagaimana menggelontorkan uangnya ke perusahaan digital. Dia mengaku, banyak perusahaan digital yang mendapatkan suntikan dana dari East Ventures, saat ini sudah meraih profit.
"Kenapa bisa profit, karena penggunanya itu banyak. Kenapa bisa banyak, karena GDP naik, pertumbuhan ekonomi stabil. Startup sekarang bisa profit," ujarnya.
Profit, Zona Bisnis. Foto: Rangga Sanjaya/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten