Dirut Pertamina: IPO Lebih Fleksibel Ketimbang Global Bond

26 Juli 2020 19:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Pertamina, Kilang Balikpapan Foto: Dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
com-Pertamina, Kilang Balikpapan Foto: Dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) akan melepas anak usahanya untuk melantai perdana di bursa saham atau Initial Public Offering (IPO). Anak usaha yang ditunjuk berada di subholding hulu minyak dan gas.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan dana dari IPO akan digunakan untuk membiayai sektor hulu. IPO dipilih karena jauh lebih fleksibel ketimbang instrumen pencarian dana lain seperti global bond atau pinjaman perbankan.
"Kenapa enggak bond saja? Nanti akan hit ke debt equity (Debt to Equity Ratio/DER). Kalau IPO lebih fleksibel dan enggak perlu kembalikan pokok pinjaman. Jadi ada plus minus. Ini yang latar belakangi tantangan untuk lakukan IPO," kata dia dalam diskusi Indonesia Energy Watch secara virtual, Minggu (26/7).
Dana dari luar dibutuhkan perusahaan karena Pertamina harus mengembangkan bisnis dalam enam tahun ke depan dengan total kebutuhan belanja modalnya USD 133 miliar. Dari situ, kas perusahaan hanya mengeluarkan 47 persen biaya, sisanya dicari di luar, termasuk IPO.
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan IPO anak usaha Pertamina bukan berarti menjual aset ini ke publik. Aset perusahaan terutama sumber daya alam hanya dikelola perusahaan, sementara pemiliknya tetap negara.
Nicke Widyawati juga mengatakan bahwa hak pekerja tidak akan berkurang dengan adanya restrukturisasi anak usaha menjadi subholding yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaiakan keterangan pers tentang penanganan tumpahan minyak (Oil Spill) di perairan Karawang. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Menurut dia, Pertamina justru akan meluncurkan program hak pekerja yang bisa diakses (bidding) semua karyawan.
Selain IPO, perusahaan juga akan memprioritaskan mencari mitra di proyek strategis untuk berbagi teknologi, biaya, dan risiko. Salah satunya mencari mitra di Blok Rokan yang akan dikelola perusahaan per Agustus 2021.
"Dengan restrukturisasi bisnis dan keuangan, kita harapkan berikan manfaat yang baik. Ini menjadi paralel semua, kalau dulu ada di badan besar, sekarang semuanya prioritas sama (hulu dan hilir). Sekarang subholding ini yang harus berlari sama-sama. Karena Pertamina enggak bisa kembangkan sendirian, karenanya terbuka dengan kemitraan," ujarnya.
ADVERTISEMENT

Rencana IPO yang Selalu Diributkan

Sejak Kementerian BUMN meminta Pertamina melakukan IPO pada anak usaha, banyak protes berdatangan terutama dari kalangan serikat pekerja. Ada yang menilai IPO sama saja dengan menjual aset ke publik.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan tidak ada yang salah dengan rencana IPO anak usaha Pertamina.
Sebab, yang dilepas kepemilikan sahamnya ke publik adalah anak usaha, sedangkan Pertamina sebagai induk holding masih dimiliki 100 persen oleh negara.
Kata dia, dalam struktur holding BUMN migas saat ini, PT PGN Tbk sudah lebih dulu menjadi perusahaan publik. Jadi, seharusnya publik tidak usah khawatir.
Lagi pula, dengan IPO, Pertamina tidak lagi membebankan negara untuk pencarian dana investasi di sektor hulu.
ADVERTISEMENT
"Kalau Pertamina kurang duit, masa minta ke negara lagi? Karena itu Pertamina dorong anak usaha cari opsinya untuk pendanaan. Jadi jangan kemudian pemerintah dapat beban, jadi silakan dicari opsi yang ada. Perusahaan seperti ExxonMobil, Chevron, dan lain pun melakukan hal sama," ujarnya.
Gedung Pertamina Foto: Wikimedia Commons
Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro pun berpendapat sama. Dia menilai tidak ada yang salah dengan rencana IPO sub holding Pertamina. Meski begitu, pelepasan anak usaha ini perlu dikaji mendalam dalam hal perhitungan valuasinya.
Komaidi menjelaskan, jika dilihat status Pertamina dalam Undang-Undang dari tahun ke tahun mengalami penurunan kewenangan. Berdasarkan UU 44 PRP Tahun 1960, Pertamina diberi kekuasaan memiliki hak atas kekayaan sumber daya yang dikelolanya, sama seperti Petronas di Malaysia dan Saudi Aramco di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam UU 8 Tahun 1971, kewenangan itu hilang, hak Pertamina sebagai BUMN hanya diberikan pengelolaan tambang atau izin usaha pertambangan. Sementara di UU Migas 22 Tahun 2001, hak usaha penambangannya dilepas juga, jadi posisi Pertamina tidak ada bedanya dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada umumnya.
"Otomatis, konteksnya harus sejalan dengan PSC (Product Sharing Contract) itu sendiri di mana yang di oil porsi hasilnya 85:15. Ini kenapa saya singgung karena berkaitan dengan kapitalisasinya saat IPO nanti valuasinya berapa dan cara menghitungnya bagaimana, tentu kan ada hubungannya PSC," ujarnya.