DPR Harap Penerimaan Cukai Bisa Capai Target Rp 203 T di 2022

4 Juli 2022 20:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Wahyu Sanjaya mendorong optimalisasi penerimaan negara dari sektor cukai, khususnya dari cukai hasil tembakau atau cukai rokok. Menurutnya, dengan optimalisasi tersebut penerimaan negara dari cukai dapat mencapai angka sesuai target pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Kita berharap seharusnya pendapatan cukai bisa dioptimalkan lagi,” ujar Wahyu dalam laman DPR RI, Senin (4/7).
Adapun realisasi penerimaan cukai hingga semester I 2022 mencapai Rp 121,5 triliun, tumbuh 33 persen dari periode penerimaan cukai tahun sebelumnya yang sebesar Rp 91,3 triliun. Penerimaan cukai tersebut sudah mencapai 40,42 persen dari target tahun ini Rp 203,92 triliun.
Penerimaan cukai ditopang oleh cukai hasil tembakau sebesar Rp 117,06 triliun, atau tumbuh 24,36 persen dari periode sama tahun lalu yakni Rp 88,5 triliun.
Wahyu melanjutkan, penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau dinilai menjadi salah satu kebijakan pemerintah untuk menekan angka perokok. Pada tahun ini, penyederhanaan tarif sudah dilakukan dari sepuluh layer menjadi delapan layer.
ADVERTISEMENT
"Kebijakan tersebut diharapkan mendorong pengurangan perbedaan harga rokok di pasaran dan meningkatkan pendapatan negara," katanya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison mengatakan, sistem multitier pada struktur tarif cukai rokok memungkinkan beberapa merek rokok mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan memungkinkan perokok berpindah ke produk yang lebih murah jika ada kenaikan tarif cukai.
“Penerimaan negara menjadi tidak optimal karena beberapa produsen bisa memilih tarif cukai yang lebih rendah,” katanya.
Vid juga menyoroti kesenjangan tarif dan harga jual eceran (HJE) minimum antara satu golongan dengan golongan lainnya yang masih besar. “Ambil contoh, sigaret kretek mesin (SKM) dengan jumlah produksi tahunan lebih dari 3 miliar batang (SKM 1) dikenakan cukai 64 persen lebih tinggi dibandingkan dengan SKM dengan jumlah produksi kurang dari 3 miliar batang (SKM II)," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Selain itu HJE dari SKM 1 lebih tinggi 67 persen dibandingkan SKM II. Produsen golongan II bisa menjual rokok dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan rokok di golongan 1,” lanjutnya.
Vid merekomendasikan agar pemerintah mengurangi kesenjangan tarif cukai dan HJE minimum antargolongan produksi. Menutup jarak tarif cukai antara golongan 1 dan golongan 2 juga akan membantu mengurangi perbedaan harga rokok di pasaran.
"Hal ini merupakan satu instrumen kebijakan yang penting untuk menurunkan prevalensi merokok dan optimalisasi penerimaan negara," pungkasnya.