Ekonom Kritik Asumsi Makro Pemerintah di 2023: Kurang Realistis!

18 Agustus 2022 18:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Piter Abdullah. Foto: Facebook/ @Piter Abdullah
zoom-in-whitePerbesar
Piter Abdullah. Foto: Facebook/ @Piter Abdullah
ADVERTISEMENT
Ekonom mengkritik asumsi makro di RAPBN 2023 yang sudah ditetapkan pemerintah. Dalam asumsi RAPBN 2023, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada 2023 dan inflasi di level 3,3 persen.
ADVERTISEMENT
Merespons hal tersebut, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, menyebut beberapa asumsi RAPBN 2023 terkesan tidak realistis.
"Target pertumbuhan ekonomi menjadi kurang realistis ketika digabungkan dengan target defisit yang 2,58 persen," ungkap Piter kepada kumparan, Kamis (18/8).
Piter merasa target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen harus diimbangi dengan stimulus yang cukup. Namun hal tersebut sulit dilakukan dengan defisit yang ditekan di bawah 3 persen.
Piter menilai perekonomian di tahun 2023 masih dipenuhi ketidakpastian oleh pandemi dan juga ketegangan geopolitik global. Pengurangan berbagai stimulus pemerintah seiring pengurangan defisit akan mengurangi kemampuan pemerintah mendorong pertumbuhan di tengah gejolak global.
Di sisi lain, target inflasi 3,3 persen juga dirasa Piter kurang realistis. Pasalnya, tekanan inflasi global dan harga energi yang tinggi masih akan terjadi di tahun 2023. "Dengan anggaran subsidi yang demikian rendah sekitar Rp 200 triliun, saya tidak yakin target inflasi bisa dicapai," terang Piter.
ADVERTISEMENT
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan asumsi makro dalam RAPBN 2023 cenderung optimis. Hal tersebut tercermin dari indikasi pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 5,3 persen dari outlook 2022 yang diperkirakan di rentang 5,1-5,4 persen.
"Apalagi mempertimbangkan kondisi perlambatan ekonomi global sebagai konsekuensi pengetatan kebijakan moneter global terutama AS yang mendorong peningkatan probabilitas ekonomi AS untuk mengalami resesi pada akhir tahun 2023 atau awal 2024," kata Josua kepada kumparan, Kamis (18/8).
Lebih lanjut, kata Josua, dengan mengasumsikan penurunan harga ICP yang mengindikasikan normalisasi harga komoditas global pada tahun depan, maka kontribusi net ekspor pada PDB tahun depan juga diperkirakan akan menurun.
Selain itu, asumsi inflasi pada RAPBN 2023 berada di level 3,3 persen dirasa cukup optimis dari outlook 2022 di rentang 4,0-4,8 persen. Namun terdapat risiko inflasi tetap tinggi pada tahun 2023 apabila ketidakpastian geopolitik baik dari Rusia-Ukraina dan China-Taiwan masih memanas. Sehingga masih akan mendorong potensi kenaikan harga energi dan pangan global, serta berlanjutnya gangguan rantai pasokan global.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, terkait dengan asumsi nilai tukar rupiah dan yield SUN 10 tahun cenderung konservatif dengan mempertimbangkan postur RAPBN 2023 yang mengindikasikan konsolidasi fiskal.
"Jika dilihat postur RAPBN 2023 juga cenderung optimis dan sekaligus realistis di mana penerimaan pajak diperkirakan tumbuh 4,8 persen dengan mempertimbangkan pertumbuhan PDB nominal yakni PDB riil ditambah inflasi sama dengan 5,3 persen tambah 3,3 persen sama dengan 8,6 persen. Ekspektasi pertumbuhan pajak yang cenderung flat mengindikasikan bahwa pemerintah mengasumsikan bahwa windfall pajak dari commodity boom juga akan mengalami penurunan," jelas Josua.
Di sisi belanja, belanja pemerintah tahun 2023 juga lebih rendah di mana masih fokus pada prioritas pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan infrastruktur yang akan memiliki multiplier effect yang besar pada peningkatan produktivitas perekonomian ke depannya. Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan belanja subsidi energi dan kompensasi yang masih tetap tinggi, serta peningkatan belanja pembayaran bunga utang pemerintah dan beberapa anggaran yang dialokasikan untuk IKN dan pemilu.
ADVERTISEMENT
"Dengan memperhatikan bahwa defisit APBN 2023 ditetapkan maksimal 3 persen terhadap PDB, maka pemerintah perlu mendorong produktivitas belanja dan menetapkan skala prioritas dalam alokasi belanja yang memiliki efek berganda bukan hanya dalam jangka pendek namun juga dalam jangka menengah-panjang," tutur Josua.