Ekonom Peringatkan Jokowi: Pembubaran OJK Bisa Picu Kepanikan

6 Juli 2020 7:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo disebut-sebut tengah mempertimbangkan pengembalian fungsi pengawasan sektor perbankan dan keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan dua sumber Reuters yang dikutip kumparan, Kamis (2/7), adanya rencana pembubaran tersebut karena Jokowi tak puas dengan kinerja OJK. Sebelum isu ini mencuat, OJK memang menjadi sorotan usai terbongkarnya kasus Jiwasraya. Lembaga ini menjadi sorotan karena dinilai gagal mengawasi investasi pada BUMN asuransi tersebut.
Meski begitu, pembubaran OJK dinilai banyak ekonom Indonesia sebagai langkah terburu-buru. Alasannya karena saat ini ekonomi nasional sedang terpuruk lantaran COVID-19. Pembubaran OJK bisa berpotensi kepanikan di masyarakat dan menggoyahkan kepercayaan sektor keuangan nasional.
"Jika OJK dibubarkan saat krisis ekonomi dan krisis pandemi maka persepsi nasabah dan investor akan memandang kondisi keuangan di Indonesia sudah gawat sampai OJK perlu dibubarkan. Ini bisa memicu kepanikan di pasar keuangan sekaligus penarikan uang besar-besaran akibat ketidakpercayaan masyarakat," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira saat menghadiri Diskusi Kinerja OJK Ditengah Kasus Jiwasraya, Selasa (28/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hal senada juga diungkapkan Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor, Irfan Syauqi Baek. Menurut dia, Jokowi terlalu tergesa-gesa jika membubarkan OJK saat ini. Pembubarannya harus dikaji lebih dalam, termasuk dampaknya ke depan.
ADVERTISEMENT
Jika keputusan itu diambil di tengah situasi ekonomi yang sedang sulit, akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan. Ujungnya, akan menimbulkan kepanikan di masyarakat dan pemerintah harus bekerja keras mengembalikan kepercayaan pasar.
"Saya khawatir ini akan timbulkan kepanikan di tengah masyarakat ketika OJK sebagai institusi yang diberikan mandat tidak dijalankan dengan baik, ini akan menimbulkan efek yang kurang baik dalam kondisi hari ini. Jadi saran saya, tidak perlu terburu-buru dan perbaiki dulu kualitas pengawasan OJK," ujar Irfan.

BI Perlu Adaptasi, Kasus yang Ditangani OJK Bisa Terbengkalai

BI akan mendapatkan tugas baru yang cukup berat jika OJK dibubarkan. Menurut Bhima, tidak ada jaminan pengawasan jasa keuangan bisa lebih baik pasca OJK dilebur ke Bank Indonesia. Lembaga pimpinan Perry Warjiyo itu sebaiknya fokus pada kebijakan moneter dulu.
ADVERTISEMENT
"Masa adaptasi yang lama membuat kebijakan tidak efektif. Budaya kerja antara pegawai OJK dan BI kan beda. Kalau dipaksa gabung ada penyesuaian lagi dari sisi budaya kerja. Ini kalau tidak hati-hati justru kontra produktif. Maunya cepat eksekusi stimulus tapi sebaliknya, ada masa adaptasi sehingga realisasi stimulus keuangan terhambat," jelas dia.
Ilustrasi Bank Indonesia Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Belajar dari pembubaran lembaga sejenis OJK yakni FSA di Inggris pada 2013 silam, dibutuhkan kajian yang mendalam dari berbagai perspektif. Kegagalan FSA menyelamatkan perbankan dari krisis 2008 bukan berarti langsung saat itu juga dibubarkan. Baru 5 tahun setelah ada keputusan final FSA dibubarkan dan dibentuk dua lembaga pengawas keuangan yang baru.
"Kalau melihat damaging effect ini dalam situasi sekarang akan memperberat industri keuangan syariah dan keuangan secara umum, berpotensi menciptakan krisis keuangan yang lebih dalam sebab ketika dibubarkan, banyak hal yang sedang ditangani OJK ini akan ikut tidak terawasi dengan baik," kata Irfan.
ADVERTISEMENT

Jokowi Diminta Ganti Pejabatnya Saja

Bhima justru menyarankan ketimbang membubarkan OJK, lebih baik Jokowi mengganti pejabat di dalamnya jika dinilai tidak memuaskan sebab berkaca pada kasus yang ada di OJK saat ini, ada masalah kelembagaan dan leadership di lembaga ini yang harus segera dievaluasi.
"Itu lebih mendesak (agar mengganti pejabatnya)," kata Bhima.
Sama halnya dengan Bhima, Irfan juga sepakat agar dalam proses evaluasi dan perbaikan OJK, pejabat yang saat ini memimpin lebih baik diganti.
"Kalau dianggap pejabatnya saat ini tidak kompetensi, ya dievaluasi saja pihak-pihak yang tidak kompeten dan digantikan dengan yang kompeten. Dalam kondisi krisis saat ini justru kekuatan harus bisa dikoordinasikan dengan baik supaya saling dukung. Jadi lebih baik evaluasi saja orangnya, cost-nya lebih kecil dibandingkan bubarkan institusinya," terang Irfan.
ADVERTISEMENT