Eks Kepala SKK Migas Ikut Kritik Bos Pertamina soal Harga Minyak Impor Murah

23 Juli 2020 13:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirut Pertamina Nicke Widyawati. Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirut Pertamina Nicke Widyawati. Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati soal minyak mentah impor lebih murah daripada minyak domestik menuai polemik. Kali ini kritik datang dari mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini.
ADVERTISEMENT
Menurut Rudi, perbedaan harga minyak dari dalam negeri dengan impor tak signifikan. Tak bisa dijadikan alasan untuk tidak menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
"Harusnya yang namanya komoditas dunia, seperti emas, minyak itu harganya seimbang di setiap negara, hanya tambah kurang dikit-dikit setelah ada perbedaan biaya transportasi, tetapi tidak akan terlalu signifikan dengan harga secara keseluruhan. Efek terhadap harga BBM tidak signifikan, jadi kalau dipakai alasan harga BBM tidak turun karena harga dalam negeri lebih mahal, menurut saya terlalu mengada-ada," kata Rudi kepada kumparan, Kamis (23/7).
Mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini. Foto: ANTARA FOTO
Rudi membeberkan, perbedaan harga antara minyak dalam negeri dan impor tak akan lebih dari 10 persen. Artinya meski memborong minyak dari dalam negeri, harusnya Pertamina bisa menurunkan harga BBM.
ADVERTISEMENT
"Misalnya harga (minyak) USD 40 per barel di spot, maka di tempat tertentu ada yang (selisih) USD 5 atau USD 3 per barel atau ada yang plus USD 2 per barel, dan seterusnya. Kalaupun benar harga minyak dalam negeri lebih mahal juga tidak akan signifikan terhadap harga keseluruhan (BBM). Lihat saja USD 4 terhadap USD 40, hanya sekitar 10 persen," paparnya.
"Harga BBM Rp 9.000 (per liter) waktu itu ketika harga (minyak mentah) USD 70 per barel, kini sudah sekitar USD 40 per barel tapi tetap dijual BBM Rp 9000 (per liter), terus mengkambing-hitamkan harga dalam negeri lebih tinggi, menurut saya terlalu mengada-ada," ujar Rudi.
Sebelumnya, dalam beberapa kali kesempatan Nicke menyebut jika harga minyak mentah impor lebih murah ketimbang beli di dalam negeri. Salah satunya dalam paparan di Komisi VI DPR RI, Selasa (21/4) lalu, satu hari setelah harga minyak mentah dunia sempat minus USD 37,91 per barel untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) dalam penjualan minyak berjangka yang berakhir Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Amblasnya harga minyak hingga minus saat itu merupakan yang pertama kali dalam sejarah. Jadi, saat harga minyak minus, pembeli tidak perlu membayar, hanya merogoh kocek untuk ongkos kirim saja. Harga BBM di dalam negeri yang tak kunjung turun dipertanyakan DPR.
Petugas mengisi bahan bakar pertamax di SPBU Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
Waktu itu, Nicke mengatakan bahwa biaya pokok produksi minyak mentah Pertamina di dalam negeri lebih tinggi 25 persen dibandingkan harga minyak dunia saat itu. Sudah setahun ini, Pertamina juga diminta menyerap 100 persen produksi minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Jika Pertamina berhenti membeli minyak mentah dalam negeri, maka kegiatan operasional KKKS di dalam negeri bisa terganggu. Ini akan menimbulkan efek tak sehat dalam bisnis hulu migas di dalam negeri. Karena itu, perusahaan meminta adanya insentif ke pemerintah agar bisa membeli minyak dari dalam negeri dengan harga murah.
ADVERTISEMENT
"Dan crude dalam negeri kan rata-rata memang lebih tinggi. Ini kita lagi diskusikan dengan Kementerian ESDM bagaimana supaya kami tetap menyerap tapi diberikan relaksasi harga, ini sedang dilakukan," kata Nicke.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto tak setuju dengan pernyataan itu. Ia meminta Nicke membuktikannya. Sebab, kalaupun harga minyak impor lebih murah, ada biaya transportasi yang harus ditanggung dalam proses pengirimannya.
"Saya juga pernah jadi Dirut Pertamina, crude domestik pasti lebih murah dari impor. Jadi mesti diklarifikasi (pernyataan itu)," kata Dwi Soetjipto, Jumat (17/7).