Eks Stafsus Jokowi Sebut Simplifikasi Cukai Rokok Bikin Persaingan Usaha Adil

14 September 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok 2021 pada akhir bulan ini. Namun hingga saat ini belum mendapat kepastian, apakah kenaikan tarif juga akan diikuti oleh simplifikasi struktur tarif di tahun depan.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, memberikan saran agar pemerintah menerapkan simplifikasi struktur tarif cukai rokok. Menurutnya, simplifikasi merupakan opsi ideal antara pelaku usaha besar atau asing dengan usaha kecil/menengah.
“Selama ini aturan ini tidak difasilitasi dengan baik, sehingga usaha kecil/menengah mesti bertarung dengan usaha besar. Akibatnya, banyak usaha kecil yang mati dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Erani kepada kumparan, Senin (14/9).
Adapun saat ini, tarif cukai rokok memiliki struktur tarif yang terdiri dari 10 layer. Ini dinilai terlalu banyak dan kompleks, serta masih memiliki celah bagi pelaku usaha besar.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020, pemerintah berencana menyederhanakan layer cukai rokok. Dari yang saat ini 10 layer, menjadi hanya 3-5 layer di 2024.
ADVERTISEMENT
“Selama ini pabrik rokok besar cenderung menyiasati tarif cukai dengan membuat produk yang banyak. Hal ini bisa terjadi karena banyaknya jenis tarif. Aturan baru harus bisa meminimalisir praktik moral hazard tersebut,” jelasnya. E
Ahmad Erani Yustika. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi ini menjelaskan, kebijakan simplifikasi menciptakan persaingan usaha yang adil. Artinya persaingan usaha akan terjadi sesuai dengan level perusahaannya, sehingga menutup celah bagi perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil.
“Dengan simplifikasi, perusahaan besar akan dikumpulkan dengan perusahaan besar lainnya di dalam akuarium yang sama,” kata Erani.
Kenaikan tarif dinilai bisa dilakukan, dengan catatan tidak menindih usaha kecil dan industri rokok tangan yang banyak menyerap tenaga kerja. “Kelompok ini wajib dilindungi selama pemerintah tidak mampu memberikan alternatif kesempatan kerja yang lebih baik,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lanjut Erani, simplifikasi tarif cukai hasil tembakau juga akan menjadi instrumen yang ideal, karena dapat meningkatkan penerimaan negara.
Sebelumnya berdasarkan penelitian FEB Universitas Brawijaya, potensi penerimaan dari simplifikasi cukai rokok mencapai Rp 17,57 triliun.
“Kami melakukan simulasi, andai saja roadmap simplifikasi cukai hasil tembakau dijalankan oleh pemerintah, total potensi penerimaan negara dari skema tersebut adalah Rp 17,57 triliun,” tulis Ketua Tim Peneliti dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen FEB Universitas Brawijaya, Abdul Ghofar, dalam laporan Hasil Penelitian Cukai Hasil Tembakau: Roadmap Simplifikasi, Celah Kebijakan dan Dampaknya.
Suasana pekerja di ruang produksi pabrik rokok PT Digjaya Mulia Abadi (DMA) mitra PT HM Sampoerna, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Foto: SISWOWIDODO/ANTARA FOTO
Tim peneliti menemukan bahwa dampak positif simplifikasi juga akan berpengaruh pada pengendalian konsumsi rokok yang menjadi tujuan pemerintah saat ini. Kenaikan tarif cukai 10 persen dinilai akan menurunkan konsumsi rokok hingga 3 persen.
ADVERTISEMENT
“Dengan elatisitasnya, jika terjadi kenaikan cukai 10 persen akan menurunkan konsumsi rokok 3 persen,” katanya.
Selain itu, jika pemerintah memangkas menjadi hanya 5 layer, maka potensi penerimaan negara secara keseluruhan naik Rp 10,12 triliun. Dan penerimaan cukai akan bertambah hingga Rp 237,79 triliun di 2023.
“Hasil simulasi kami jika struktur tarif cukai disederhanakan menjadi 5 layer, pendapatan cukai diproyeksikan bertambah menjadi Rp 237,79 triliun pada 2023,” tambahnya.