Faisal Basri: Aturan Tarif Cukai Rokok 8 Layer Tak Efektif, Pabrik Bisa Siasati

1 Juni 2022 16:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengamat ekonomi, Faisal Basri. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengamat ekonomi, Faisal Basri. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah dinilai perlu melakukan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok. Diketahui, tarif cukai rokok ini diatur dalam Permenkeu Nomor 192/PMK.010/2021, di mana tarif cukai rokok dibedakan menjadi delapan layer dengan penggolongan sesuai dengan batasan jumlah produksinya.
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior, Faisal Basri menilai pembagian golongan tersebut cenderung kurang efektif. Dia mencontohkan negara-negara lain pada umumnya hanya menggunakan satu golongan saja, sementara di Indonesia ada delapan.
“Kita delapan itu masih sangat banyak, dan boleh dikatakan cenderung kurang efektif dan cenderung tidak menggedor. Delapan itu masih memberikan degree manueverability yang tinggi kepada perusahaan-perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai,” kata dia pada webinar Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022, Rabu (1/6).
Menurutnya, hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah kenaikan cukai rokok tidak diikuti dengan kenaikan harga eceran per batang. Sehingga bisa saja cukai dinaikkan, tetapi efeknya bisa ditekan pabrik rokok dengan mengurangi profit mereka.
Yang kedua, lanjut dia, terlalu banyak yang diatur. Menurutnya kenaikan cukai rokok bisa disiasati pabrik rokok dengan mengurangi jumlah batang dalam setiap bungkusnya.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya golongan ini simplifikasinya 3 saja, jadi karena di sebagian besar rokok sigaret kretek mesin (SKM). Yauda SKM-nya jadikan satu kelompok saja. Kecuali yang UMKM. Tapi UMKM porsinya sedikit sekali,” kata dia.
Dalam PMK tersebut, penggolongan jenis SKM dibedakan lagi menjadi golongan I dan II. Golongan I dibedakan atas jumlah produksi lebih dari 3 miliar batang, sementara golongan II tidak lebih dari 3 miliar batang.
“Golongan ini kan concernnya kan sebetulnya UMKM. Pengertian UMKM itu apa? Rasanya bukan UMKM lagi kalau sudah SKM, oleh karena itu SKM menurut saya tak perlu ada goolongan, satu saja,” ujar Faisal Basri.
Dengan adanya golongan itu, Faisal menilai dapat dimanfaatkan oleh pabrik-pabrik besar dari luar negeri untuk tidak meningkatkan kapasitas produksi mereka agar tidak naik kelas. Akhirnya mereka akan berada di level yang sama bersaing dengan produksi rokok SKM dari UMKM di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dia mempertanyakan tujuan dari dibuatnya penggolongan SKM tersebut apakah untuk membantu UMKM atau hanya meringankan pabrik rokok dari luar negeri. Sehingga penggolongan tersebut menurutnya tak relevan lagi.
“Jadi ayo kembali, hakikat dari penciptaan golongan itu untuk melindungi UMKM sebetulnya. Oleh karena itu lah tidak ada relevansinya lagi golongan I dan II itu. Utamanya untuk SKM,” pungkas Faisal.