Faisal Basri hingga BPK Soroti Utang Pemerintah Era Jokowi

26 Juni 2021 7:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
Faisal Basri Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Faisal Basri Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Utang pemerintah lagi-lagi menjadi isu yang tengah hangat diperbincangkan. Mulai dari ekonom hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ramai-ramai mengingatkan pemerintah soal nilai utang yang terus membengkak.
ADVERTISEMENT
Terkait hal itu, Presiden Jokowi menyatakan defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dibiayai sumber dana yang aman.
"Pemerintah akan sangat memperhatikan rekomendasi BPK dalam pengelolaan pembiayaan APBN. Defisit anggaran dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan aman, dilaksanakan secara responsif," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (25/6).
Berikut kumparan merangkum soal protes ekonom hingga BPK yang soroti utang pemerintah.

Faisal Basri Singgung soal Surat Utang

Ekonom Senior Faisal Basri menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut pembiayaan APBN didanai oleh sumber yang aman. Faisal Basri pun menyanggah pernyataan tersebut. Menurutnya defisit anggaran saat ini dibiayai oleh utang yang tak bisa dijadwal ulang saat jatuh tempo.
“Pak Presiden, 87 persen utang pemerintah berupa surat utang yang beredar di pasar. Tak bisa dijadwal ulang. Jika ada aksi jual, semaput kita,” tulis Faisal dalam akun Twitternya @FaisalBasri, Jumat (25/6).
ADVERTISEMENT

BPK Soroti Utang Pemerintah Terus Meningkat

Tak hanya Faisal yang mulai khawatir dengan utang pemerintah yang terus membengkak, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengisyaratkan hal yang sana. Dalam laporan hasil audit laporan keuangan pemerintah pusat, salah satu yang disorot BPK adalah utang pemerintah yang terus meningkat.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Sehingga, pemerintah dikhawatirkan tidak mampu untuk membayar utang tersebut berserta bunganya.
"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Agung dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6).
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
BPK mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Adapun hingga akhir Desember 2020, total utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp 1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pendanaan APBN hanya mencapai 91,5 persen dari anggaran atau turun sebesar 16,88 persen dibandingkan dengan 2019. Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, realisasi pembiayaan di tahun lalu mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya. Sehingga, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun.
"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," ujar Agung.

Kementerian Keuangan Buka Suara soal Utang

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun akhirnya menanggapi kenaikan utang pemerintah yang dikhawatirkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Utang tersebut dinilai telah melampaui batas aman Dana Moneter Internasional (IMF) maupun International Debt Relief (IDR).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman mengatakan, pihaknya mengapresiasi pelaksanaan audit dan pemberian WTP dari BPK. Menurutnya, selama pandemi ini hampir seluruh negara menghadapi kenaikan utang karena mengambil kebijakan countercyclical.
ADVERTISEMENT
“Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu (batas aman IMF),” kata Luky kepada kumparan, Kamis (24/6).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dia mencontohkan, Filipina memiliki rasio utang 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan dan Amerika Serikat masing-masing 48,4 persen dan 131,2 persen.
Pada tahun 2020, kata Luky, pemerintah juga telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary, yang menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang. Salah satu caranya yakni burden sharing dengan Bank Indonesia (BI), sebagai wujud sinergi pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, di mana BI ikut menanggung biaya bunga utang.
Selain itu, pemerintah juga melakukan kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam dolar AS dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen, dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. “Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun lalu juga dinilai dapat menekan yield SBN sekitar 250 basis poin, mencapai 5,85 persen di akhir tahun atau turun 17 persen (ytd).