Faisal Basri: Kuota BBM Subsidi Bisa Dijaga Pakai Instrumen Fiskal di APBN

1 September 2022 7:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Faisal Basri. Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Faisal Basri. Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan bahwa instrumen fiskal dalam APBN, yakni pajak dam belanja pemerintah, bisa digunakan untuk menjaga kuota BBM bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Di tahun ini, pemerintah mematok subsidi energi Rp 502,4 triliun yang terdiri dari subsidi energi Rp 208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun.
Hingga akhir Juli 2022, subsidi Pertalite hanya tersisa 6 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter subsidi yang disepakati hingga akhir 2022.
Menurut Faisal, kuota BBM subsidi yang selalu cepat habis karena harga jual eceran BBM subsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar. Apalagi, tidak ada pelarangan pembelian BBM bersubsidi, sehingga membuat semua orang membeli BBM subsidi.
"Pertalite yang ramai itu 70 persennya buat mobil, 30 persen sepeda motor. Dari angka mobil itu, 98 persennya untuk mobil pribadi dan sisanya taksi online dan pelat kuning, 0,4 persen angkot. Pemerintah bisa gunakan instrumen fiskal sebenarnya," ujar Faisal dalam webinar Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran, dikutip Kamis (1/9).
ADVERTISEMENT
Dia pun menyarankan pemerintah untuk menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) jika ingin menaikkan harga BBM subsidi. "Di harga BBM itu ada PPN 11 persen, off kan saja dulu misalnya enam bulan, itu efeknya akan tepat sasaran pasti, langsung 100 persen efeknya," katanya.
Pengendara mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (31/8/2022). Foto: Jamal Ramadan/kumparan
Selain itu, Faisal juga memberi contoh instrumen fiskal lainnya yang bisa digunakan untuk menjaga kuota BBM tetap aman. Ia pun mendesak pemerintah agar memberikan insentif kepada masyarakat sesuai dengan sektor dan golongannya.
"Jadi jangan semua persoalan satu solusi, bukan begitu. Solusi buat angkot misalnya apa, bebaskan dulu biaya perpanjangan STNK, itu lebih senang mereka. Untuk taksi pelat kuning, bebaskan PPN dan bea masuk onderdil mereka yang impor. Untuk motor ada ojek online, itu mereka biasa bayar parkir untuk ambil makan, sehari uang parkirnya berapa, dikasih saja voucer bebas parkir, itu mereka seneng, jauh lebih banyak insentif nantinya daripada kenaikan harga BBM. Itu pasti membantu mereka," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga menemukan sejumlah masalah yang menyebabkan BBM subsidi tak tepat sasaran atau dinikmati masyarakat mampu. Direktur BBM BPH Migas Patuan Alfon mengatakan, dari hasil pemantauan BPH Migas selama ini, kebanyakan penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi yang terjadi dalam bentuk penimbunan.
"Ya memang kebanyakan itu ditimbun dan dilarikan ke konsumen-konsumen yang tidak berhak," kata Patuan.
Menurutnya, ada yang perlu dibenahi agar penyaluran BBM bersubsidi tidak terus salah sasaran, yakni landasan hukum yang mendetailkan jenis kendaraan apa saja yang benar-benar bisa menikmati BBM bersubsidi seperti jenis Pertalite dan Solar. Landasan hukum yang akan dibenahi itu adalah Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.
ADVERTISEMENT
"Dalam lampiran itu tidak lengkap kendaraan yang dibatasi bisa menggunakan BBM bersubsidi," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penyaluran BBM subsidi selama ini tidak tepat sasaran. Untuk BBM jenis solar, sebanyak 89 persen dinikmati dunia usaha, dan hanya 11 persennya dinikmati kalangan rumah tangga.
Namun, dari yang dinikmati rumah tangga itu ternyata 95 persennya dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan.
Adapun untuk BBM bersubsidi jenis Pertalite, 86 persennya digunakan kalangan rumah tangga, dan 14 persennya dinikmati kalangan dunia usaha. Tapi, dari porsi rumah tangga itu kata dia 80 persennya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20 persen dinikmati oleh rumah tangga miskin.
ADVERTISEMENT