Faisal Basri: Mengapa Pemerintah Berjudi dengan UU Cipta Kerja?

10 Oktober 2020 13:16 WIB
Ekonom Senior, Faisal Basri. Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Senior, Faisal Basri. Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR RI menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja sebagai solusi untuk kemudahan berusaha. Selama ini sejumlah hal dinilai menghambat dunia usaha, mulai dari banyaknya jenis perizinan hingga peraturan yang berbelit-belit serta tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Faisal Basri mempertanyakan latar belakang disahkannya UU Cipta Kerja. Menurutnya, persoalan kemudahan berusaha tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun.
“Namun, mengapa baru sekarang diklaim sebagai penyebab kemerosotan investasi dan pertumbuhan ekonomi? Dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan di masa lalu bisa 8 persen, 7 persen, dan 6 persen. Mengapa baru lima tahun terakhir (sebelum terjadi wabah COVID-19) pertumbuhan mentok di aras 5 persen?” ujar Faisal dalam blog pribadinya seperti dikutip kumparan, Sabtu (10/10).
Sejak dilantik pada Oktober 2014, Presiden Jokowi berulang kali menyampaikan tekadnya untuk menyederhanakan perizinan usaha. Ia meminta seluruh jajaran pembantunya untuk bekerja keras meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) yang setiap tahun diterbitkan oleh Bank Dunia.
Pengamat ekonomi, Faisal Basri. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Ketika dilantik, Indonesia berada di peringkat ke-120, tertinggal jauh dari Singapura di peringkat pertama, Malaysia (keenam), Thailand (ke-18), dan Vietnam yang berada di urutan ke-99. Presiden menargetkan Indonesia masuk peringkat ke-40.
ADVERTISEMENT
Selama 2015-2018, pemerintah juga mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi untuk membakar lemak-lemak yang menyelimuti perekonomian agar bisa bergerak lebih lincah dan tumbuh lebih tinggi.
Kerja keras yang berkelanjutan membuahkan hasil sangat menggembirakan. Separuh jalan sudah terlalui ketika pada tahun 2018 peringkat EoDB Indonesia naik tajam menjadi ke-72. Pada tahun 2019 dan 2020 turun satu peringkat menjadi ke-73. Indonesia kian mendekati Vietnam dan Brunei Darussalam.
“Target 40 besar memang belum tercapai. Namun, sebenarnya dengan sedikit tambahan kerja keras, untuk mencapai peringkat ke-40 sangat mungkin terwujud dalam waktu yang tak terlalu lama lagi,” kata Faisal.
Faisal melanjutkan, pemerintah seharusnya fokus saja memperbaiki lima komponen EoDB. Pertama adalah membenahi hambatan perdagangan lintas batas (“Trading across borders”). Komponen tersebut dinilai mengalami pemburukan sangat parah, dari urutan ke-54 pada 2014 menjadi ke-116 pada 2019 dan 2020.
ADVERTISEMENT
“Kembalikan saja ke posisi tahun 2014, ceteris paribus, niscaya peringkat Indonesia bakal naik lumayan,” jelasnya.
Kedua dan ketiga, perbaiki komponen “Dealing with construction permit” dan “Registering property” dengan penyederhanaan persyaratan dan memperpendek waktu pengurusan.
“Agaknya tak terlalu sulit untuk melakukan hal itu karena hanya menyangkut beberapa instansi. Kedua komponen ini juga mengalami pemburukan,” kata dia.
Keempat dan kelima, percepat proses perbaikan yang sudah terjadi untuk komponen “Starting business” dan “Enforcing contracts” agar keduanya menembus peringkat di bawah 100.
Menurut Faisal, pemerintah perlu melakukan segala upaya tersebut secara jelas dan terukur. Separuh jalan tersisa sudah mulai ditapaki. Hasilnya sudah di depan mata.
“Mengapa tak mau bersabar untuk menggapai sesuatu yang hampir dalam genggaman? Mengapa berjudi dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang melebar ke mana-mana, sehingga berisiko memorakporandakan kemajuan yang sudah di jalur yang benar. Mengapa harus pindah jalur?” tuturnya.
ADVERTISEMENT
“Mengapa harus memecah-belah masyarakat? Mengapa pemerintah menempuh langkah zero sum game dengan semua keuntungan diberikan kepada pengusaha (terutama pengusaha besar) dengan merugikan pekerja, masyarakat, dan pemerintah daerah?” tambahnya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.