Faisal Basri: Simplifikasi Tarif Cukai Rokok Tambah Penerimaan Negara Rp 100 T

14 September 2022 13:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Senior, Faisal Basri saat ditemui di Tjikini Lima, Selasa (15/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Senior, Faisal Basri saat ditemui di Tjikini Lima, Selasa (15/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan, skenario terbaik untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau atau cukai rokok adalah dengan penyesuaian tarif cukai disertai dengan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau. Menurutnya, hal ini bisa menambah penerimaan negara Rp 100 triliun.
ADVERTISEMENT
“Dengan skenario tersebut ada sekitar Rp 100 triliun tambahan penerimaan negara untuk pemerintah. Uang yang banyak ini dapat dipakai untuk akselerasi kesehatan dan pendidikan karena selama pandemi, kita banyak learning loss,” ujarnya dalam webinar Webinar “Cigarette Excise in Indonesia: Counting Lost Rupiah” seperti dikutip Rabu (14/9).
Adapun dalam RAPBN 2023 pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor cukai hasil tembakau sebesar Rp 245,45 triliun, naik 11,6 persen dari target tahun ini Rp 220 triliun.
Faisal juga menyoroti tren pertumbuhan rokok murah yang marak terjadi saat ini, di mana rokok-rokok tersebut menjamur dan semakin banyak dikonsumsi. Menurut dia, situasi ini tidak efektif bagi upaya pengendalian dan penyelamatan generasi emas Indonesia.
Sementara itu, Officer Southeast Tobacco Control Alliance (SEATCA) Anton Javier mengatakan, menyederhanakan struktur tarif cukai dengan membedakan antara rokok mesin dan rokok linting tangan akan mengoptimalkan penerimaan negara sampai Rp 108,7 triliun. Penerimaan dari cukai hasil tembakau ini dinilai akan memperkuat keuangan negara dalam menahan dampak inflasi, sekaligus juga mencapai target pengendalian konsumsi tembakau.
ADVERTISEMENT
Jika layer cukai tembakau ini disederhanakan secara progresif, katanya, penerimaan negara dan dampak kepada kondisi kesehatan masyarakat tentu akan membaik seiring waktu. "Penyederhanaan layer cukai hingga menaikkan level cukai hingga 25 persen dari baseline adalah rekomendasi kebijakan kami yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia," kata Javier.
Akademisi Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, penerimaan negara dari sektor cukai tidak akan optimal apabila struktur tarif cukainya masih memiliki celah penghindaran pembayaran cukai. “Lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah adalah salah satu celah dapat dimanfaatkan perusahaan untuk penghindaran cukai,” katanya.
Oce mengatakan gap tarif yang lebar antara golongan I dan II ini memicu perusahaan cenderung memilih masuk dalam golongan II. “Meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” kata Oce.
ADVERTISEMENT
Oce menuturkan, langkah untuk menyederhanakan struktur tarif serta memperkecil gap tarif antar golongannya dapat mencegah munculnya potensi kecurangan, sehingga akan mengoptimalkan penerimaan negara.
“Hal tersebut tentu saja akan berimplikasi pada aspek penerimaan negara yang tidak optimal. Gap yang terlalu lebar ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan struktur tarif cukai, sehingga hal-hal yang menghambat optimalisasi penerimaan negara dapat dihindari,” pungkasnya.