Faisal Basri Ungkap Praktik Ekspor Nikel RI Meski Dilarang

12 Oktober 2021 16:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Senior, Faisal Basri saat ditemui di Tjikini Lima, Selasa (15/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Senior, Faisal Basri saat ditemui di Tjikini Lima, Selasa (15/10). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah melarang adanya ekspor nikel. Kebijakan ini untuk mendukung hilirisasi yang tengah didorong pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, Ekonom senior Faisal Basri menyebut data dari China mencatat adanya impor nikel dari Indonesia di 2020. Meskipun dalam data BPS memang tak tercatat adanya ekspor nikel dari Indonesia.
"Tahun 2020, pemerintah melarang berdasarkan data BPS enggak ada ekspor untuk kode HS 2604 nikel ores and concentrates. Tapi general customs administration of China mencatat tahun 2020 kemarin masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia," ujar Faisal Basri dalam diskusi virtual CORE Indonesia, Selasa (12/10).
Dia menghitung, nilai ekspor 3,4 juta ton ke China bisa mencapai Rp 2 triliun. "Dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, 196 juta dollar atau setara Rp 2 triliun kalau kursnya Rp 14.577 rata-rata JISDOR 2020," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Seorang pekerja menunjukan bijih nikel di pabrik pertambangan nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Menurutnya jika pemerintah punya niat untuk menelusuri ini, sangat mungkin. Caranya dengan menghitung produksi smelter, kebutuhan normal, dan melihat lebih banyak untuk proses produksi atau ada sebagian yang dijual keluar walau dilarang.
"5 tahun terakhir kerugian negara sudah ratusan triliun rupiah. Ini saja sudah 2,8. Kemudian pak Jokowi hari ini menyebut Indonesia bakal memiliki pabrik smelter tembaga terbesar di dunia, so what? manfaatnya buat negeri ada enggak?" kata dia.
Menurutnya hilirisasi yang dilakukan pemerintah dengan membangun baterai untuk mobil listrik, bahkan memproduksi mobilnya di Indonesia akhirnya hanya mendukung industrialisasi di China. Jadi keuntungan besarnya bukan pada Indonesia, tapi pada China.
"Hilirisasi sebatas mengolah bahan baku yang sejauh ini baru 25 persen. Digadang-gadang bakal menghasilkan baterai untuk mobil listrik, bahkan mobil listriknya sekalipun akan diproduksi. Hebat indonesia. Tak peduli produk hilirisasinya bakal dieskpor masa bodo. Terutama ke China. Jadi hilirisasi untuk mendukung industrialisasi di China dan berikan keuntungan yang setinggi-tingginya untuk mereka," tuturnya.
ADVERTISEMENT