GAPKI Sebut Lahan Sawit Sudah Memiliki HGU: Tak Lagi Berstatus Hutan

3 November 2023 10:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
vKetua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono di pagelaran Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Hotel Westin Bali, Kamis (2/11). dok. GAPKI
zoom-in-whitePerbesar
vKetua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono di pagelaran Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Hotel Westin Bali, Kamis (2/11). dok. GAPKI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menegaskan lahan sawit para anggota sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Sehingga tidak lagi berstatus kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
"Kalau lahan sudah HGU, pernyataan terakhir dari Kementerian ATR/BPN, HGU adalah bukan kawasan hutan," tegas Eddy di sela-sela pagelaran Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Hotel Westin Bali, Jumat (3/11).
Berdasarkan data Gapki mencatat, ada 2.145.828,58 hektare lahan sawit yang terindikasi masuk di kawasan hutan. Lahan tersebut dimiliki oleh total 3.351 persiapan sawit. Dari jumlah tersebut, terdapat 380 perusahaan anggota Gapki dengan luas lahan sawit 722.029 hektare yang sebagian masuk kategori Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.
"Anggota Gapki yang dianggap bermasalah semuanya sudah mengajukan sebelum tanggal 2 November 2023, artinya itu dianggap sudah dalam proses walaupun belum selesai," pungkas Eddy.
Sehingga, ia meyakini pada anggota Gapki sudah tidak ada masalah persoalan lahan sawit. Bahkan Gapki menyebut, hal ini sebetulnya merupakan antara pemerintah pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Eddy juga berharap kebijakan satu peta itu bisa selesai supaya tidak ada lagi perbedaan atau overlay perihal lahan.

Ombudsman Minta KLHK Tunda Batas Persyaratan Izin Pengusaha Sawit di Kawasan Hutan

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika di Kantor Ombudsman Jakarta, Senin (18/9/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Sebelumnya, Ombudsman RI meminta penundaan batas persyaratan izin pengusaha sawit di kawasan hutan. Sebab, persyaratan izin tersebut berpotensi terjadi malaadministrasi. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperpanjang batas waktu penyerahan perizinan lahan sawit.
Adapun pemerintah berencana melakukan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan melalui Pasal 110A dan 110B Undang-undang Cipta Kerja.
Dalam Pasal 110A dijelaskan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-undang Cipta Kerja yang belum memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.
ADVERTISEMENT
Bila tidak menyelesaikan persyaratan sampai batas waktu, perusahaan akan dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif dan/atau pencabutan perizinan berusaha. Dengan demikian, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan setelah membayar denda administratif.
Ilustrasi lahan kelapa sawit. Foto: Nora Carol Photography/Getty Images
Mulanya HGU dan kawasan hutan adalah dua hal berbeda dengan payung hukumnya masing-masing. HGU diatur oleh Kementerian ATR/BPN, sementara kawasan hutan diatur oleh Kementerian KLHK. Dalam pasal 28 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa HGU adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Tumpang tindih regulasi terjadi ketika terbit Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Tanah. Dengan terbitnya beleid tersebut justru pengaturan HGU diperluas sampai menyasar kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
Yeka menambahkan, permasalahan lainnya juga dirasakan oleh para Petani Sawit Swadaya yang dalam hal ini yang hanya memiliki lahan seluas kurang dari 10 hektare. Mereka akan kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan UU Cipta Kerja.
Eddy juga menambahkan, sejatinya para pengusaha sudah mengajukan izin di daerah yang seharusnya sudah melihat tata ruangnya.
“Kita semuanya sudah oke, sesuai dengan tata ruang yang ada waktu itu. Kita berharap dengan adanya Ombudsman itu dia memposisikannya sebagai wasit gitu,” tutup Eddy.