Gelombang PHK Mulai Menerjang Industri Hulu Migas
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona membuat permintaan minyak merosot. Dalam kondisi normal, permintaan minyak mencapai 97 juta barel per hari. Kini tinggal sekitar 70 juta barel per hari. Kelebihan pasokan minyak mencapai 30 juta barel per hari. Harga minyak diperkirakan masih akan berada di level rendah hingga tahun depan. Dampaknya, terjadi resesi di industri hulu migas.
Dalam situasi seperti ini, perusahaan migas harus menurunkan biaya operasinya agar masih bisa selamat melewati masa-masa sulit akibat turunnya harga minyak, memprioritaskan pada kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan memangkas biaya dan kegiatan penunjang serta pengembangan lapangan, merevisi WP&B (Work Program and Budget).
Mau tak mau kontraktor-kontraktor migas memangkas pekerja, terutama di sektor penunjang seperti jasa survei, pemboran migas, pemasok tenaga kerja, hingga pemasok material.
ADVERTISEMENT
"Mereka akan melakukan pemangkasan. Pemangkasan ini bukan hanya merugikan pekerja langsung di kontraktor migas. Yang paling dirugikan adalah industri penunjang hulu migas, misalnya perusahaan yang biasa ngebor, perusahaan yang biasa mensuplai tenaga kerja, dan pihak ketiga lainnya. Pihak ketiga yang biasanya mendapat banyak pekerjaan, akan banyak berkurang, menurut saya akan terjadi gelombang PHK kalau recovery harga minyak tidak cepat," kata Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini dalam keterangannya, Senin (27/4).
Rudi menjelaskan, rata-rata biaya produksi minyak di Indonesia sebesar USD 19 per barel. Tapi ada sumur-sumur yang biaya produksi minyaknya di atas USD 30 per barel. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk sementara akan menghentikan pekerjaan di sumur-sumur itu karena tidak ekonomis. Pekerja pun perlu dikurangi untuk efisiensi.
ADVERTISEMENT
"Ada sumur-sumur yang biaya produksinya USD 30-40 per barel. Itu harus dihentikan pekerjaannya. Kalau tidak kan rugi. Beberapa sumur harus ditutup dan dikalkulasi ulang," ujarnya.
Untuk dapat bertahan di tengah krisis yang disebabkan oleh pandemi corona ini, menurut Rudi, industri hulu migas dan sektor-sektor lainnya perlu melakukan perencanaan ulang. Anggaran belanja, keuangan, kegiatan produksi harus dirombak dan disesuaikan dengan situasi tidak normal seperti sekarang.
"Lakukan replanning di segala sektor bukan hanya di migas saja. Termasuk di sisi-sisi ekonomi lainnya. APBN, industri, semua harus menghitung ulang dengan kondisi yang ada. Baik itu pengusaha ritel, produsen, maupun penyedia energi harus menghitung ulang. Jangan sampai kebanyakan produksi atau sebaliknya kita tidak menyediakan bahan-bahan yang kita butuhkan saat ini. Di depan mata kita ada resesi," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin juga mengakui bahwa industri penunjang hulu migas sudah merasakan dampak yang signifikan dari jatuhnya harga minyak.
"Dampaknya sudah mulai terlihat, penundaan proyek dan operasi migas. Sektor penunjang migas yang merasakan pertama. Jasa pengeboran jelas, material juga," tuturnya kepada kumparan, Senin (27/4).
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona
ADVERTISEMENT