Hadapi Produk China, Industri Baja RI Minta Pemerintah Kenakan Bea Antidumping

17 September 2021 13:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Baja produksi Krakatau Steel. Foto: Dok. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
zoom-in-whitePerbesar
Baja produksi Krakatau Steel. Foto: Dok. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
ADVERTISEMENT
Industri baja nasional Indonesia meminta dukungan pemerintah dalam menghadapi gempuran produk baja impor dari China. Salah satu dukungan yang dimintakan, yakni pengenaan bea antidumping.
ADVERTISEMENT
Chairman Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional atau The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim mengungkapkan, masuknya produk impor baja asal China ke Indonesia, terindikasi kuat mengakali tarif bea masuk dan bea antidumping yang berlaku di Indonesia.
"Importasi baja ini China masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh industri baja nasional dalam beberapa tahun terakhir," kata Silmy Karim yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, dalam pernyataan yang diterima kumparan Jumat (17/9).
Dia memaparkan, produk baja impor asal China itu lebih banyak menggunakan unsur 'Boron' sebagai paduan yang digunakan untuk mengubah pos tarif dari Hot Rolled Coil (HRC) karbon (HS Code 7208) menjadi HRC Alloy (HS Code 7225). Padahal secara mekanik dan unsur kimianya, produk tersebut tidak lain adalah HRC karbon yang sudah banyak diproduksi di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
"Siasat itu dilakukan eksportir baja China agar terhindar dari tarif bea masuk umum (Most Favoured Nation/MFN) dan/atau Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang berlaku," imbuhnya.
Direktur Utama PT. Krakatau Steel, Silmy Karim ketika mengunjungi kantor kumparan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pada rentang 2016-2019, volume impor baja jenis HRC Alloy dari China meningkat 114 persen, yakni menjadi sebesar 451 ribu ton. Pada 2020 memang menurun, namun kalangan industri baja nasional lebih melihat hal ini sebagai dampak pandemi COVID-19.
Baja jenis HRC Alloy impor dengan HS code 7225.30.90 ini, mendominasi impor HRC asal China dengan porsi rata-rata 81 persen, serta rata-rata 98 persen dari total impor HRC Alloy per tahun.
"Kondisi tersebut selain akan berdampak pada penurunan utilisasi produsen HRC karbon dalam negeri, yang saat ini masih rendah di kisaran 49 persen, juga akan mengancam investasi yang sudah dilakukan," ujar Silmy Karim.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka mengamankan pasar baja nasional dari produk impor yang masuk secara tidak fair, Krakatau Steel sebagai salah satu anggota IISIA telah mengajukan permohonan penyelidikan antidumping. Hal ini mulai diinisiasi oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sejak Maret 2020.
Ilustrasi industri baja. Foto: Fabian Bimmer/REUTERS
Mengutip informasi resmi dari KADI, Silmy Karim menjelaskan, pada 3 September 2021 KADI telah menerbitkan Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Anti Dumping (Final Determination). Laporan ini akan menjadi dasar rekomendasi KADI terkait besaran BMAD terhadap impor HRC Alloy dalam pos tarif 7225.30.90 sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Dalam Laporan Akhir tersebut, KADI merekomendasikan pengenaan bea masuk antidumping terhadap produk baja China itu, sebesar 7,2 persen hingga 50,2 persen selama 5 (Lima) tahun.
ADVERTISEMENT
Silmy berharap, kementerian dan lembaga terkait yang tergabung dalam Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (PKN) dapat memberikan dukungan atas penerapan bea masuk antidumping tersebut.
“Dukungan dari Tim PKN serta seluruh pihak terkait lainnya sangat diperlukan untuk mempercepat dan mempermudah proses pengenaan BMAD ini. Bila BMAD ini dikenakan, tentu hal tersebut dapat mendorong terciptanya iklim perdagangan yang sehat di industri baja nasional,” tutup Dirut Krakatau Steel itu.