Harga Komoditas Minerba Melambung, Negara Cuan Rp 146 Triliun

18 November 2022 14:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) mencapai Rp 146 triliun per 11 November 2022.
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba, Irwandy Arif, menuturkan pencapaian tersebut meningkat drastis hingga 145 persen dari periode yang sama tahun lalu.
"Hingga 11 November, PNBP kita mencapai Rp 146 triliun, hampir 145 persen naik dibandingkan tahun lalu, sangat drastis kenaikannya," ungkapnya saat Launching Buku Kajian Manufaktur dan Pariwisata, Jumat (18/11).
Meski demikian, Irwandy mengatakan pemerintah masih harus berhati-hati walaupun mendapatkan durian runtuh dari sektor minerba ini. Pasalnya, kontribusi industri pengolahan tidak hanya dari pertambangan saja.
"Keseluruhan pertambangan paling tertinggi di Indonesia 29 persen. Sedangkan pengolahan dari sektor pertambangannya berkontribusi 5 persen," kata dia.
Menurut dia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor minerba, terutama didukung oleh industri hilirisasi. Hal ini disebabkan salah satunya fluktuasi harga komoditas yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
"Tapi kita harus hati-hati, bukan hanya peningkatan tapi sangat sensitif kepada harga dan ini bisa berubah setiap saat secara drastis," ungkapnya.
Irwandy memaparkan, perubahan harga komoditas dilaporkan setiap bulan kepada Menteri ESDM. Adapun untuk bulan ini, kata dia, hampir 70 persen harga komoditas mengalami penurunan dibandingkan bulan lalu.
"Hanya sekitar 30 persen yang naik. Ini bukan hal yang mudah karena hasil daripada hilirisasi sangat tergantung pada harga dan harga tidak bisa dikontrol," jelas dia.
Ilustrasi timah. Foto: PT Timah
Selain faktor harga, tantangan lain dalam pengembangan hilirisasi komoditas minerba adalah penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Dia mencontohkan produksi green metals untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik seperti baterai lithium.
"Kemudian produksi logam terbatas kita masih utamanya nikel, emas, perak, tembaga tapi produk samping belum digarap dengan baik. Lalu pengembangan ekosistem baterai, stainless steel, dan modul surya yang sudah di depan mata cukup berkembang di Indonesia," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Irwandy menambahkan, untuk mendukung industri hilirisasi minerba di tanah air, pemerintah harus mempercepat pembangunan pabrik pemurnian logam atau smelter. Hingga tahun 2021, smelter yang dikelola Kementerian ESDM hanya berjumlah 21 unit.
Sementara itu, 32 unit smelter masih dalam tahap konstruksi. Pihaknya pun akan menambahkan sekitar 7 smelter mulai dari bauksit, nikel, timah, seng dan lain sebagainya.
"Hingga ini kita lihat banyak yang masih konstruksi yang diselesaikan, kalau semua selesai ini akan menjadi mendukung hilirisasi. Kesulitan pendanaan, sumber listrik, perizinan yang kadang-kadang lama sekali," pungkas Irwandy.