Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
*Oleh: Ali Tranghanda
Generasi milenial disebut-sebut golongan penduduk yang berpotensi besar menguasai pasar. Paling tidak, 32,5 persen penduduk Indonesia berada di generasi ini, yang lahir antara tahun 1980 sampai 1995.
ADVERTISEMENT
Namun tidak semua generasi milenial mempunyai finansial yang cukup. Beberapa lembaga survei memperkirakan penghasilan kaum milenial rata-rata hanya Rp 7 juta – 7,5 juta per bulan. Memang ada juga yang penghasilannya tinggi, tapi jumlahnya tak lebih banyak.
Dengan rata-rata penghasilan tersebut, mereka masih dapat membeli hunian dengan cicilan Rp 2 juta – 2,5 juta per bulan dengan harga hunian di kisaran Rp 250 – 300 jutaan. Itu pun dirasa masih berat, karena mereka juga harus menyiapkan uang muka yang tidak kecil.
Berdasarkan data pertumbuhan laju Kredit Pemilikan Rumah dan Apartemen (KPR/KPA) diperlihatkan porsi pembeli di usia 25 – 35 tahun bertumbuh dari 25 persen di tahun 2014 menjadi 33 persen di tahun 2018. Meskipun terbilang relatif masih belum signifikan, namun tren kenaikan seharusnya sudah dapat dibaca dengan jelas.
ADVERTISEMENT
Tren ini semakin jelas terlihat dalam pergerakan pangsa KPR rumah tapak untuk tipe 22-70 meter persegi, yang memperlihatkan dominasi pasar milenial di tahun 2018 sebesar 46 persen dibandingkan pasar generasi usia 36-45 tahun yang terus menurun menjadi 32 persen di tahun 2018.
Hal ini sekaligus menggambarkan sebenarnya daya beli generasi milenial tidak jelek-jelek amat, dengan perkiraan kisaran harga terbesar hunian di tipe 22 – 70 m2 adalah di kisaran Rp 250 – 500 jutaan. Meskipun untuk jenis apartemen, dominasi milenial masih sangat kecil.
Nah, dengan harga rumah tapak tersebut diperkirakan lokasinya berada di luar Jakarta. Untuk milenial yang tidak bekerja di Jakarta tentunya masih bisa memilih hunian di mana saja asalkan dekat dengan tempat kerjanya.
ADVERTISEMENT
Namun untuk kaum urban milenial yang masih bekerja di Jakarta, tentunya hampir mustahil untuk membeli rumah tapak seharga itu di Ibu Kota. Karena sudah sangat terbatas atau bahkan sudah tidak ada lagi rumah tapak seharga itu di Jakarta.
Bagaimana dengan apartemen yang digadang-gadang menjadi hunian para milenial perkotaan? Alih-alih membeli properti jenis apartemen, sebagian dari mereka masih bertahan untuk tinggal di Jakarta dengan cara menyewa apartemen atau rumah kos-kosan, karena harga apartemen pun sudah tinggi.
Sebenarnya masih ada pasokan rumah murah melalui skema rumah subsidi FLPP dari pemerintah. Harganya di bawah Rp 168 jutaan. Namun ternyata sebagian besar milenial tidak tertarik tinggal di rumah subsidi meskipun secara daya beli masih dimungkinkan.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup kaum urban milenial rasanya tidak mau tinggal di hunian subsidi dengan fasilitas yang relatif minim. Selain itu faktor jarak tempuh dan biaya transportasi juga turut andil membuat mereka tidak tertarik, karena umumnya hunian subsidi lokasinya jauh dari perkotaan sehingga dipastikan produktivitas kerja menjadi terganggu. Sudah habis biaya, habis waktu juga.
Kalaupun ada yang membeli karena ‘terpaksa’ ingin mempunyai aset properti, pada akhirnya banyak yang kemudian meninggalkan dan tidak jadi menghuni rumah tersebut dan kembali ke Jakarta untuk menyewa rumah, menyewa apartemen, atau kos-kosan bulanan. Itulah fenomena masyarakat perkotaan khususnya kaum urban di Jakarta.
Berdasarkan survei yang dilakukan Indonesia Property Watch terhadap minat kaum milenial dalam memilih hunian di Jabodebek, diketahui yang memilih kos-kosan sebagai tempat tinggal masih dominan, sebesar 47,4 persen. Ini beda tipis dengan mereka yang ingin beralih menyewa apartemen sebesar 47,1 persen.
ADVERTISEMENT
Sedangkan selebihnya masih memilih tinggal di rumah keluarga atau saudara. Meskipun ingin tinggal di apartemen, bukan berarti mereka ingin membeli apartemen. Sebagian besar dari mereka atau 73,0 persen ‘tidak berani’ membeli apartemen dan hanya berkeinginan menyewa karena harganya yang tidak terjangkau. Hanya 7,5 persen yang ingin dan mampu membeli apartemen. Sedangkan selebihnya masih belum menentukan pilihannya.
Tentunya menyewa di apartemen pun relatif lebih tinggi dibandingkan rumah kos-kosan. Paling tidak sebesar 30 – 40 persen dari penghasilan digunakan untuk menyewa hunian. Saat ini sebanyak 39,9 persen kaum milenial tinggal di kos atau apartemen dengan besaran sewa di bawah Rp 2juta per bulan, sebesar 38,5 persen menyewa dengan harga Rp 2-3 juta per bulan, dan sebesar 21,6 persen menyewa dengan harga di atas Rp 3 juta per bulan.
Melihat fenomena di atas, maka anggapan bahwa generasi milenial bisanya hanya bersenang-senang dan mengutamakan gaya hidup, boleh jadi tidak seratus persen benar. Karena ini bisa diartikan bentuk frustrasi kaum milenial yang sebagian besar belum sanggup membeli hunian.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi kaum milenial yang sangat dinamis, membuat mereka lebih senang berpindah-pindah hunian dengan cara menyewa apartemen dari yang satu ke apartemen yang lain.
Kondisi dilema seperti ini pun sebenarnya terjadi di hampir semua generasi. Generasi yang lebih tua pun pasti mengalami hal yang sama saat mereka muda, di mana tidak semuanya sanggup membeli hunian.
Perbedaannya sekarang kondisi di mana harga properti semakin tinggi dan semakin meninggalkan daya beli. Yang artinya akan semakin sulit untuk membeli hunian. Dalam transformasi sebuah kota, termasuk pengalaman dari kota-kota besar di dunia, kondisi seperti ini tidak dapat dihindari.
Daya beli selalu terkalahkan dengan peningkatan harga properti yang semakin tinggi, di mana pada saat tertentu pasar sudah bisa membeli lagi properti dan hanya bisa menyewa. Pilihan kemudian jatuh kepada kaum milenial itu sendiri, antara tetap membeli rumah di pinggiran kota, menyewa apartemen, atau menyewa rumah kos-kosan.
ADVERTISEMENT
Anggapan yang menyebutkan milenial nanti menjadi gelandangan karena tidak memperoleh hunian mungkin agak berlebihan. Karena mereka seharusnya dapat menyewa meskipun tidak membeli. Kalau pun tetap mau membeli maka kendala besarnya uang muka dapat dipilih alternatif dengan mencari bantuan dari keluarga atau sanak saudara.
Bagi para milenial yang sudah berkeluarga, mungkin daya beli bisa lebih meningkat dengan adanya join income dari penghasilan bersama suami istri. Untuk jangka panjang pastinya mereka yang membeli aset properti mempunyai nilai tambah tersendiri. Meskipun terkadang membeli hunian harus sedikit nekad, namun tetap harus diperhitungkan dengan jernih.
Perlu diingat juga, jangan sampai kaum milenial terlalu memaksakan membeli hunian bila akhirnya akan membuat mereka stres dengan besarnya cicilan tiap bulan yang dapat mengganggu produktivitas kerja. Karenanya, kembali lagi semua pilihan ada di kaum milenial. Tidak ada yang salah membeli hunian bila mampu, dan tidak ada yang salah juga menyewa hunian bila memang belum saatnya.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah CEO Indonesia Property Watch