news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Heboh Soal Perbandingan Utang Era SBY Vs Jokowi

10 April 2022 9:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
SBY bertemu Jokowi di Istana. Foto: Yudhistira Amran/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
SBY bertemu Jokowi di Istana. Foto: Yudhistira Amran/kumparan
ADVERTISEMENT
Publik dihebohkan dengan perbandingan utang di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perbandingan tersebut dimulai dari cuitan Stafsus Menkeu Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, yang menyebut utang di masa SBY meningkat.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Yustinus itu langsung dijawab oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat, Ossy Dermawan, yang menganggap tidak adil perbandingan utang tersebut.
Berikut ini selengkapnya heboh perbandingan utang era SBY vs Jokowi:

Stafsus Sri Mulyani Sebut Utang Masa SBY Meningkat

Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, menyebutkan tren perkembangan utang pemerintah naik setiap tahunnya sejak reformasi, tidak terkecuali di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam cuitannya di akun Twitter @prastow, Prastowo menjelaskan seluk beluk utang pemerintah, tidak hanya perkembangan nominal tapi juga alasan penarikan, pemanfaatan, dan pertanggungjawaban.
"Utang pemerintah memang mengalami peningkatan secara nominal dari era awal Reformasi, pemerintahan SBY, lalu masa pemerintahan Jokowi. Kelihatan sekali penambahan signifikan terjadi saat pandemi. Dari total Rp 4.247 T (Okt 2014-Des 2021), Rp 2.122 T atau 50 persen ditarik 2020-21," tulis Prastowo seperti dikutip kumparan dari akun Twitternya, Sabtu (9/4).
ADVERTISEMENT
Demokrat Berikan Penjelasan
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat yang juga pernah menjadi Staf Pribadi SBY, Ossy Dermawan, memberikan tanggapan terhadap cuitan Yustinus mengenai peningkatan utang pemerintah di masa SBY.
Dia menjelaskan bahwa cuitan Yustinus untuk melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal saja adalah sebuah perbandingan yang kurang adil. Dia pun membuat utas tandingan di akun @OssyDermawan, untuk menanggapi utas stafsus Sri Mulyani tersebut.
"Saya menyampaikan kurang “adil” karena nominal utang yang dipaparkan setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi. Artinya, utang Rp 1 juta tahun 2022 ini tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta tahun 2005 dulu, karena daya belinya pada tahun tersebut juga pasti berbeda," jelasnya.
Menurut dia, untuk menghilangkan efek inflasi dalam melihat perkembangan utang pemerintah, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan pembaginya adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang membentuk rasio utang terhadap PDB. Rasio tersebut, kata dia, merupakan indeks yang tidak dipengaruhi inflasi karena satuan pengukurannya rupiah.
Selain tidak dipengaruhi inflasi, menurut Ossy, rasio tersebut juga mengandung makna yaitu untuk menghasilkan Rp 1 PDB, berapa rupiah utang pemerintah yang digunakan. Dia pun mengeklaim rasio utang pemerintah SBY ada penurunan.
"Debt-to-GDP ratio berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56 persen pada tahun 2004 menjadi sekitar 24 persen pada tahun 2014 (selama 10 tahun). Kalau sekarang Debt-to-GDP ratio tersebut naik lagi menjadi sekitar 40 persen, silakan rakyat menilainya," tutur dia.
Ossy pun melanjutkan, dengan rasio utang terhadap PDB yang rendah di masa pemerintahan SBY menunjukkan beban fiskal pemerintah untuk membayar bunga dan pokok utang jadi lebih kecil. Dengan begitu, besaran fiskal yang tersedia untuk mendorong ekonomi lebih besar.
ADVERTISEMENT
Politisi Demokrat Sebut Masa SBY Semua Sektor Ekonomi Gerak, Tak Cuma Infrastruktur
Ossy juga menyinggung bahwa Menteri Keuangan pemerintahan SBY dan Jokowi sama yaitu Sri Mulyani. Namun, kinerja rasio utang terhadap PDB maupun laju pertumbuhan ekonomi kedua pemerintahan bisa berbeda karena faktor kepemimpinan.
Ossy menegaskan, kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak, tidak hanya sektor khusus seperti infrastruktur. Dia menilai, struktur perekonomian di masa SBY pun lebih kokoh.
"Jika ada yang menyampaikan bahwa perekonomian kita saat ini menurun karena Covid, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi pun sudah memiliki tren yang menurun atau paling tidak stagnan," tandasnya.