IFC: Banyak Produk Fesyen Berkedok Ramah Lingkungan Demi Cuan

18 Oktober 2021 17:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ali Charisma, National Chairman Indonesian Fashion Chamber pada Press Conference MUFFEST yang digelar di  Jakarta Goodrich Suites, ARTOTEL Portfolio (27/01) Foto: dok. Dyandra Promosindo
zoom-in-whitePerbesar
Ali Charisma, National Chairman Indonesian Fashion Chamber pada Press Conference MUFFEST yang digelar di Jakarta Goodrich Suites, ARTOTEL Portfolio (27/01) Foto: dok. Dyandra Promosindo
ADVERTISEMENT
Menanggapi tren fesyen yang berkelanjutan atau ramah lingkungan yang sedang marak digadang-gadang oleh sejumlah lini bisnis pakaian, Chairman Indonesia Fashion Chamber (IFC), Ali Charisma, menegur dan menegaskan bahwa konsep keberlanjutan (sustainability) tidak hanya pantas hanya digunakan sebagai kedok demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, Ali menyatakan kekecewaannya karena melihat masih banyak brand fesyen yang tidak benar-benar mengerti tentang makna dan proses sustainability, tetapi ikut-ikutan menunggangi tren ini dan memakainya sebagai “alat bisnis”.
“Tidak layak jika hanya digunakan sebagai kedok. Jangan hanya sebagai business tool! Mereka melihat pasarnya besar, akhirnya mereka bilang sustainable sebagai business tool,” kata Ali melalui sambungan telepon, Senin (18/10).
Menurut pantauan Ali dan timnya di IFC, brand fesyen ini dapat mengancam ekosistem fesyen berkelanjutan karena positioning yang keliru. Banyak brand yang malah menjual barang dengan harga di bawah rata-rata, atau bahkan menjual produk dengan bahan yang tidak ramah lingkungan.
“Bahan yang baik semakin mahal, tenaga kerja semakin mahal juga. Kok, ini, yang ditemukan di lapangan murah? Ini karena mereka tidak menggunakan proses yang baik, mereka menekan harga bahan dan production cost yang tentunya jadi tidak sehat. Ada juga yang menjual bahan sintetis yang pastinya bukan serta alam, tidak sustainable,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ali khawatir pola pikir keliru ini akan menimbulkan perilaku konsumen yang konsumtif dan tidak bertanggung jawab. Karenanya, ia meminta seluruh brand fesyen untuk bertanggung jawab soal nilai yang diangkat.
“Tidak ada produk sustainable yang murah. Ada yang jual sangat murah, kalau begini, mereka (konsumen) tidak akan merasa berdosa kalau membuang. Akhirnya, overconsume, yang mana juga tidak bisa di-recycle karena bahannya tidak sesuai. Bajunya tidak diurus, bernoda, kotor, dibuang, dan tidak berdampak baik bagi lingkungan,” tegas Ali.
Sebagai penggiat fesyen Indonesia yang sudah berpengalaman selama 23 tahun, ia ingin menyatakan bahwa konsep berkelanjutan memang sangat sulit diimplementasikan di industri fesyen; tak hanya di Indonesia, tetapi juga global.
Namun, ia mengajak para pelaku bisnis dan produksi fesyen untuk tidak menyerah. Dengan memberi edukasi dan melakukan upaya berkelanjutan dari proses produksi hingga ke penjualan, Ali yakin fesyen Indonesia dapat berevolusi secara bertahap.
ADVERTISEMENT
“Konsumen sudah terbiasa dengan fast fashion, tapi pelan-pelan kita shifting ke sustainability. Minimum konsumen bisa membeli produk lokal, lalu mengetahui proses pembuatannya, mengenal siapa pembuatnya. Jadi ketika menggunakan produk tersebut, bisa menjiwai. Sustainable ini baru mulai, industri fesyen pasti bisa,” tutupnya.