IMF Minta Sri Mulyani Naikkan Lagi Tarif Pajak Karbon

14 Oktober 2021 9:45 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Foto: Nicholas Kamm / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Foto: Nicholas Kamm / AFP
ADVERTISEMENT
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengapresiasi kebijakan pemerintah Indonesia yang akan mengenakan pajak karbon mulai tahun depan. Langkah ini sebagai suatu upaya menerapkan ekonomi rendah karbon secara global.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan pengenaan pajak karbon mulai 1 April 2022. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif pajak karbon ialah paling rendah Rp 30,00 per kilogram (kg).
"Saya baru saja mendengar dari Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, bahwa dalam krisis ini, Indonesia telah mengambil langkah-langkah ke arah penetapan harga (pajak) karbon, dan begitu juga banyak ekonomi lain, termasuk China, dengan perdagangan karbon baru-baru ini," ujar Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam pernyataan media briefing IMF yang diterima kumparan, Kamis (14/10).
Meski demikian, Georgieva menilai pengenaan tarif pajak karbon tersebut perlu untuk ditingkatkan ke depannya. "Tetapi harga itu harus naik ke tingkat yang tepat jika ingin menjadi sinyal transformasi yang kuat," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, rata-rata harga karbon di pasar global akan terus mengalami kenaikan. Saat ini, harga karbon mencapai USD 3 per ton atau sekitar Rp 42,6 per kg (kurs Rp 14.200 per USD) dan diperkirakan mencapai USD 75 per ton di 2030.
Secara umum, IMF merekomendasikan dua kebijakan kepada negara anggota untuk mendukung ekonomi rendah karbon. Pertama, menghapus subsidi BBM. Kedua, mengenakan tarif atau pajak pada karbon.
Selain itu, IMF juga mengusulkan adanya harga atau tarif dasar karbon secara internasional. Nantinya, negara penghasil emisi terbesar akan dikenakan harga karbon yang juga lebih besar.
"Jadi, ketika penghasil emisi besar sepakat di antara mereka mengenai harga di tingkat yang berbeda, yang juga memungkinkan penetapan harga yang berbeda—bisa berupa pajak, bisa berupa perdagangan," tambahnya.
ADVERTISEMENT