Cover Collection - Profit Edisi 3

Impor Rp 42.000 Kena Bea Masuk: Pengusaha Senang, Reseller Meradang

7 Februari 2020 15:02 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Enterpreneur tips. Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Enterpreneur tips. Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Januari 2020 berjalan 27 hari, namun Agatha Aprilia (26) sudah melakukan 5 kali transaksi di sebuah platform e-commerce dengan nilai kurang lebih Rp 4.400.000. Padahal biasanya dalam sebulan, dia hanya melakukan 2 kali transaksi senilai Rp 1.600.000.
ADVERTISEMENT
Biasanya, barang yang ia beli adalah aksesori handphone, mulai dari kabel data, casing, hingga charger. Dalam membeli barang itu, Agatha biasa memesan dari akun official perusahaan dari China yang membuka lapak di platform e-commerce.
“Harga-harga aksesori yang lain juga jauh lebih murah. Semisal saya modal Rp 1.500.000, bisa kok dalam sebulan jadi Rp 4.000.000. Ini dari aksesori aja lho ya,” ungkap Agatha.
Namun sejak mengetahui pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman, Agatha mulai khawatir. Sebab barang yang ia impor, bisa jadi akan dikenakan bea masuk.
ADVERTISEMENT
Dalam sekali transaksi, Agatha bisa menghabiskan modal Rp 800.000. Sebelum ada aturan itu, bea masuk impor hanya dikenakan pada barang yang nilainya USD 75 atau Rp 1.050.000 (kurs Rp 14.000) ke atas. Mulai 30 Januari 2020, impor barang senilai USD 3 atau Rp 42.000 per kiriman, sudah dikenakan bea masuk.
"Makanya dari pertengahan bulan (Januari 2020) itu saya udah kulakan yang banyak dulu, buat stok. Saya tahu aturannya dari tanggal 11-an (Januari 2020), langsung beli saya. Terutama yang harga barangnya di atas Rp 42.000. Sebenarnya saya sangat tidak setuju, tapi mau gimana lagi," bebernya.
Pekerja mengemas barang pesanan konsumen saat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2018 di Warehouse Lazada Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (12/12). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Senada, reseller lain, Iim Fatimah juga mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut. Sebab dengan adanya bea masuk, secara otomatis barang yang ia jual akan semakin mahal.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Iim menjual case handphone yang diimpor dari China melalui e-commerce dengan harga produk sekitar Rp 50.000 – Rp 60.000 per unit, keuntungan per unitnya bisa mencapai 50 persen.
"Wah keberatan sih sebenarnya. Kan harga barang jadi lebih mahal," katanya.
Soal keberatan dengan aturan ini, mungkin tak hanya dirasakan Agatha dan Iim saja. Melainkan juga oleh reseller atau masyarakat yang selama ini bisa mengimpor barang dengan harga murah melalui e-commerce.
Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu, sejak e-commerce makin digandrungi masyarakat di 2017, barang yang diimpor dengan nilai di bawah USD 75 tiap tahunnya terus melonjak.
Berdasarkan catatan dokumen impor sepanjang 2019 hingga November, barang kiriman impor di tanah air mencapai 49,69 juta paket. Dari angka itu, sebanyak 98,6 persen nilainya di bawah USD 75 sehingga bebas bea masuk. Sementara tahun 2018, impor barang kiriman hanya 19,57 juta‎ dan tahun 2017 hanya 6,1 juta paket.
ADVERTISEMENT
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi, mayoritas barang yang mendapat fasilitas bebas bea masuk berasal dari transaksi melalui e-commerce. Hal tersebut membuat produk UMKM dalam negeri begitu tertekan, sebab harga barang yang ditawarkan dari dalam negeri jauh lebih murah.
"Pemerintah memperhatikan masukan khusus yang disampaikan pengrajin, produsen barang yang digemari dan banjir dari luar negeri,” ujarnya.
Dia pun merinci, barang yang paling banyak diimpor melalui e-commerce ialah tas, sepatu, hingga produk garmen seperti pakaian. Oleh karenanya untuk ketiga komoditas itu, pemerintah juga memberlakukan tarif bea masuk khusus.
Untuk bea masuk untuk tas diberlakukan tarif 15-20 persen, sepatu diberlakukan tarif 25-30 persen dan produk tekstil diberlakukan tarif 15-25 persen. Tak hanya itu. Impor ketiga komoditas itu juga dikenakan PPN 10 persen dan PPh 7,5-10 persen.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani memprediksi sepanjang 2019 lalu, total transaksi impor melalui e-commerce mencapai 50 juta paket. Jika per paket senilai USD 75, artinya nilai transaksi impor melalui e-commerce bisa mencapai Rp 3,75 miliar atau setara Rp 52,5 triliun.
Dia menjelaskan, nilai transaksi sebesar itu dinikmati oleh perusahaan luar negeri, sementara perusahaan dari dalam negeri menjadi terpuruk lantaran produknya kalah bersaing.
"Jadi 50 juta paket. 50 juta, kali USD 75, ketemu USD 3,750 miliar, itulah potensi yang selama ini hilang," tegas Hariyadi.
Pekerja mengemas barang pesanan konsumen saat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2018 di Warehouse Lazada Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (12/12). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Pernyataan Hariyadi itu diamini oleh Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah. Budihardjo menyebut, impor barang melalui e-commerce yang bebas bea masuk mengakibatkan penjualan toko offline di pusat perbelanjaan terus menurun.
ADVERTISEMENT
"Kami berjualan baik di offline maupun online menjadi sangat sulit untuk berkompetisi," tutur Budi.
Meski demikian, Manager Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Indonesian E-Commerce Association (IdEA), Rofi Uddarojat mengklaim, sebenarnya barang kiriman impor melalui e-commerce masih di bawah ‎10 persen dari total transaksi.
"Di bawah 10 persen (transaksinya), angka resminya enggak bisa share," katanya.
Dia menjelaskan, mayoritas transaksi dalam e-commerce merupakan produk dalam negeri yang diproduksi UMKM lokal. Saat disinggung mengenai porsinya, Rofi enggan membeberkan karena data tiap e-commerce berbeda.
"Konteksnya segitu yang jelas paling banyak dari produk-produk lokal dalam negeri," ucap Rofi.
Saat disinggung mengenai kebijakan Kemenkeu yang menurunkan threshold barang kiriman impor yang bebas bea masuk, dia mengakui e-commerce pasti akan terdampak. Namun hingga kebijakan ini diberlakukan, IdEA tak melayangkan protes.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten