Indef Kritik Rencana Sri Mulyani yang Naikkan Tarif PPN di 2022

11 Mei 2021 16:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat penyampaian SPT elektronik di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat penyampaian SPT elektronik di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menyoroti rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) di 2022. Kebijakan tersebut dinilai bakal kian membebani masyarakat khususnya dunia usaha, di tengah belum membaiknya ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi terpuruk seperti itu, Tauhid menyayangkan pemerintah bukannya memberikan relaksasi, malah justru kian membebani dengan pungutan pajak.
"2022 kita belum pulih kenapa dibebankan dengan katakanlah kenaikan pajak yang menurut saya sangat bertentangan dengan teori ekspansi fiskal. Saya kira penting bukannya relaksasi pajak, tetapi justru katakanlah dibebani dengan pajak yang menurut saya masih bisa kita hindarkan," ujar Tauhid dalam diskusi PPN 15 Persen, Perlukah di Tengah Pandemi, Selasa (11/5).
Sejumlah warga memadati Blok B Pusat Grosir Pasar Tanah Abang untuk berbelanja pakaian di Jakarta Pusat, Minggu (2/5). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
Wacana kenaikan PPN ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Mesrenbang Nasional. Meski Sri Mulyani belum merinci berapa kenaikannya, Indef memprediksi bisa sampai 15 persen.
Sebagai gambaran, tarif PPN yang berlaku saat ini adalah sebesar 10 persen. Menurut Tauhid, berapa pun kenaikannya nanti, akan tetap tidak relevan dengan kondisi kemampuan perekonomian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain pandemi yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir, kesejahteraan masyarakat juga dalam kondisi yang relatif stagnan. Sehingga ia berharap pemerintah kembali mempertimbangkan rencana kebijakan tersebut secara lebih matang.
"Melihat grafik inflasi, keyakinan konsumen maupun konsumsi ini, saya kira masyarakat tetap harus dibantu tidak dengan dibebani kenaikan tarif PPN," ujarnya.
"Saya kira rencana kenaikan tarif kenaikan pemerintah paling tinggi 15 persen itu harus dikaji ulang. Kalau perlu dibatalkan karena memang sampai 2022 sekalipun bahkan 2023 kita masih periode pemulihan ekonomi," sambung Tauhid Ahmad.