Indef: Pandemi Bikin Utang RI Makin Bengkak, APBN Sakit Kronis

1 Agustus 2021 14:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini. Foto: bio.or.id
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini. Foto: bio.or.id
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan, pandemi yang tidak kunjung usai membuat Indonesia dibayang-bayangi krisis, terlihat dari semakin membengkaknya utang. Dampaknya, APBN yang selama ini jadi tumpuan pembiayaan pun mengalami sakit kronis di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Peneliti Senior Indef Didik J. Rachbini mengatakan, ada lima faktor dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di masa mendatang. Pertama, proses politik APBN yang menurutnya sakit karena ada siluman dalam demokrasi Indonesia.
Contohnya, kata dia, pada 2019 lalu pemerintah dan DPR memutuskan batas utang turun jadi Rp 620 triliun dari sebelumnya Rp 800 triliun dalam APBN 2020. Tapi realisasinya tidak, bukan karena COVID-19 menyerang, namun menurut Didik pemerintah tidak optimal dalam mengefisienkan anggaran di awal-awal pandemi.
"(Pemerintah) Langsung ambil keputusan ambil utang dari Rp 625 triliun menjadi Rp 1.226 triliun, dua kali lipat. Ini keputusan yang sembarangan. Sehingga beban kita di masa depan akan sangat berat," kata Didik dalam diskusi Ekonomi Politik APBN, Utang, dan Pembiayaan Pandemi COVID-19, Minggu (1/8).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, APBN kehilangan dimensi rasional dan teknokratis karena adanya siluman demokrasi di lingkaran parlemen dan pemerintahan.
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Didik menyoroti rasio pajak yang rendah. Dalam keadaan saat rendah saat ini, sebenarnya Menteri Keuangan Sri Mulyani paham langkah apa yang harus diambil. Tapi, menurut Didik, dia tidak punya kekuatan untuk melawan siluman demokrasi yang ada di sekitar pengambil kebijakan.
Faktor kedua adalah defisit primer yang sangat besar karena pemerintah harus membayar utang, bunga utang, biaya pembangunan juga, termasuk menjual surat berharga Rp 1.200 triliun yang menurutnya tidak mungkin dilakukan karena dana tersebut terlalu besar untuk diserap.
"Ini buat defisit makin lebar. Menkeu baru di masa akan datang harus menjual obligasi dalam jumlah sangat besar. Misalnya surat berharga negara Rp 1.000 triliun lebih. Siapa yang mau serap dana sebesar itu? Karena tidak bisa terserap, maka ditawarkan bunga utang tinggi, lebih tinggi dari SBN negara lain. Bunga tinggi ini akan kuras APBN juga di waktu mendatang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Faktor ketiga, utang-utang yang ditarik pemerintah saat ini akan menjadi warisan yang sangat berat di masa depan. Merujuk dalam Buku APBN KiTA, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB .
Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen).
"Krisis membuat utang semakin besar, menjadi penyakit kronis APBN di tengah turunnya pendapatan pajak. Tidak ada konsolidasi, efisiensi terbaik. Risiko pembiayaan utang terkait bunga utang tanpa kendali," katanya dia.
Faktor keempat, dana mengendap dan bocor di daerah. Ini tidak efisien, mengendap cukup banyak. Pada Mei 2021, posisi simpanan Pemda Rp 194,54 triliun, turun Rp 21,99 triliun (11,3 persen) dari posisi April 2021.
ADVERTISEMENT
Sedangkan simpanan Pemda tertinggi di perbankan pada posisi Mei 2021 berada pada bank-bank di Jawa Timur mencapai Rp 22,62 triliun. Sedangkan terendah di Sulawesi Barat Rp 0,93 triliun.
"Jadi dana daerah mengendap dan realisasi lambat. Jadi daerah mesti digenjot habis-habisan, dorongan ke pertumbuhan ke ekonomi juga rendah," ujarnya.
Faktor kelima adalah suntikan modal negara ke BUMN Sakit. Ini memang tidak besar, tapi menurutnya sangat mengganggu APBN di masa mendatang.