INDEF Soal Utang Pemerintah Capai Rp 6.000 Triliun: Bisa Jadi Overhang

17 Januari 2021 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah per akhir Desember 2020 menembus angka Rp 6.074,56 triliun. Dengan angka tersebut, utang pemerintah naik hingga 27,1 persen atau Rp 1.296 triliun dari periode akhir tahun 2019 yang sebesar Rp 4.778 triliun.
ADVERTISEMENT
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menilai utang memang dilakukan banyak negara, khususnya di tengah pandemi COVID-19. Namun, dia mempertanyakan keefektifan utang pemerintah tersebut dari sisi belanjanya.
"Sementara dari postur belanja saja pemerintah masih berat ke belanja pegawai, belanja barang dan belanja proyek infrastruktur. Sementara belanja untuk kesehatan tidak proporsional porsinya dengan belanja yang bersifat birokrasi dan konsumtif. Jadi kunci menilai utang ada di efektivitas belanja juga," kata Bhima saat dihubungi, Minggu (17/1).
Selain itu, Bhima mengatakan belanja di Indonesia juga menjadi bahan korupsi saat pandemi COVID-19. Ia mengakui berbagai program seperti Bansos dan Kartu Prakerja celah korupsinya tinggi. Padahal, program tersebut dibiayai melalui pinjaman.
"Dengan kondisi utang makin berat plus bunga yang dibayar juga mencapai 19 persen dari total penerimaan negara, maka tanpa kendali utang dan defisit anggaran maka Indonesia bisa masuk apa yang disebut dengan debt overhang atau overhang utang," katanya.
ADVERTISEMENT
Bhima menjelaskan, debt overhang terjadi ketika beban utang makin tinggi. Sehingga utang bukan lagi leverage untuk perekonomian, tetapi sudah masuk sebagai cost.
"Beban biaya bayar bunga dan cicilan pokok akan membuat APBN yang harusnya dialokasikan untuk belanja kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial akan dibagi dengan beban utang yang harus dibayar," ungkap Bhima.
"Jadi pengendalian utang harus dimulai dari disiplinkan belanja negara, cegah praktik korupsi atau kebocoran anggaran," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan utang pemerintah tersebut disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat pandemi COVID-19 serta meningkatnya kebutuhan pembiayaan.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Jafrianto/kumparan
Dikutip dari laporan APBN KiTa, Sabtu (16/1), rasio utang pemerintah mencapai 38,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang ini jauh lebih besar dari akhir 2019 yang hanya 29,8 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, posisi utang per Desember 2020 itu terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5.221,65 triliun dan pinjaman Rp 852,91 triliun. Untuk SBN terdiri dari SBN domestik atau berdenominasi rupiah Rp 4.025,62 triliun dan SBN valas Rp 1.196,03 triliun.
Sementara untuk pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,97 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 840,94 triliun.
Komposisi utang pemerintah juga akan tetap dijaga dalam batas tertentu sebagai pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi, di mana UU Nomor 17 Tahun 2003 mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB.
Dari komposisi, utang pemerintah pusat tersebut masih didominasi utang dalam bentuk SBN, yang porsinya mencapai 85,96 persen dari total utang pemerintah di akhir 2020.
ADVERTISEMENT
Sementara dari sisi mata uang, utang pemerintah pusat semakin didominasi utang dalam mata uang rupiah, yaitu mencapai 66,47 persen dari total komposisi utang pada akhir Desember 2020.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: