Industri Bioskop Alami Masa Paling Buruk Sejak 1990

2 Juni 2021 15:52 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjung menyaksikan film yang diputar di salah satu bioskop di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (4/11). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung menyaksikan film yang diputar di salah satu bioskop di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (4/11). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Industri perfilman Indonesia tengah babak belur akibat pandemi COVID-19, gedung-gedung bioskop sempat ditutup karena dikhawatirkan dapat menjadi tempat penularan.
ADVERTISEMENT
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan akibat adanya pandemi, saat ini industri bioskop mengalami masa terburuk sejak 1990-an. Djonny mengatakan di akhir tahun 1990-an dulu, bioskop kelas menengah banyak yang terpaksa tutup karena gagal bersaing dengan kehadiran CD dan DVD.
“Pernah ada kecelakaan pada akhir 1990. Seluruh bioskop kelas menengah tutup. Yang kelas menengah atas tinggal 60 persen. Itu karena media film sudah tertinggal dengan media digital lainnya,” ujar Djonny dalam Sosialisasi BSM Kebangkitan Perfilman dan Bioskop Pasca Program Vaksinasi COVID-19, Rabu (2/6).
Pengunjung menggunakan masker bersiap menonton film di salah satu bioskop di Jakarta, Rabu (21/10). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Namun masa suram tersebut mulai membaik ketika industri film juga mulai masuk pada digitalisasi di tahun 2000-an. Bioskop yang saat itu tersisa 400-an layar di seluruh Indonesia, bisa terus bertumbuh hingga saat ini jumlahnya mencapai 2.000 layar. Sayangnya mimpi buruk tersebut seperti terulang kembali akibat adanya pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
“Nah inilah kecelakaan paling besar ini yaitu pandemi,” ujar Djonny.
Menurutnya, seluruh bioskop di Indonesia tahun lalu sempat tutup total selama 6 bulan penuh. Layanan bioskop baru buka kembali di Oktober 2020. Sayangnya pembukaan bioskop ini tidak lantas menggairahkan industri film maupun bioskop itu sendiri.
Menurutnya meski layanan bioskop dibuka, ada beberapa beban yang tetap harus ditanggung para pengusaha bioskop. Salah satunya yaitu pembatasan kapasitas penonton yang hanya sampai 50 persen. “Kemudian beban berat lainnya adalah beban gaji karyawan. Kita ada 18.000 karyawan di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Tidak hanya itu, menurut Djonny beban yang paling berat adalah beban untuk membayar listrik. Sebab, 60 persen beban operasional bioskop ada pada biaya listrik. Untuk itu Djonny pun meminta pada Menteri BUMN Erick Thohir agar industri bioskop mendapatkan diskon tarif listrik. “Mungkin bisa bisikin ke Pak Erick, itu kita enggak usah gratis lah, 50 persen saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Djonny gara-gara beban listrik yang mahal ini, ada beberapa bioskop yang sudah buka, akhirnya memilih untuk tutup lagi.
Selain itu, melihat belum pulihnya bisnis bioskop, Djonny juga meminta agar pengusaha bioskop tidak dipungut pajak daerah untuk sementara waktu. Djonny mengakui hal tersebut tidak mudah, namun pihaknya berharap usulannya bisa dipertimbangkan.
“Saya yakin ini enggak gampang. Itu satu hal untuk disampaikan,” ujarnya.